Selama ini BAKAR BATU lebih dikenal sebagai tradisi yang dilakukan secara turun-temurun di Papua. Kegiatannya juga besar, bahkan lintas kampung. Namun budaya bakar batu juga dilakukan oleh basudara dong di Uhak.
Dahulu, bakar batu sering identik dengan bakar babi. Tetapi seiring perkembangan, bakar batu bisa juga dilakukan dengan bahan utama daging sapi, daging ayam, daging domba, dan daging kerbau.
Basudara dong, artinya saudara-saudara kita. Uhak sendiri, adalah salah satu nagari (desa) yang berada di Kecamatan Wetar Utara, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku.
Pulau Wetar lebih dekat ke Timor Leste dan NTT daripada ke Ambon. Untuk mencapai Pulau Wetar, kita bisa mengaksesnya dengan transportasi laut. Dari Kupang, Atapupu, Alor di NTT dan dari sekitar Pulau Kisar dan Moa, MBD.
Penduduk Uhak bekerja sebagai nelayan dan petani. Di laut, mereka menangkap ikan. Di darat, mereka mengumpulkan pala hutan dan madu hutan yang begitu berkualitas.
Selain itu, basudara kita di Uhak sesekali berburu kambing hutan dan babi hutan. Hasil buruan ini, lalu dimasak untuk disantap secara beramai-ramai. Kebersamaan, menjadi dasar untuk berkumpul.
Salah satu cara memasak hewan buruan ini, adalah bakar batu. Seperti bakar batu ala penduduk Papua. Namun budaya bakar batu sudah jarang dilakukan di Uhak, Pulau Wetar.
Hampir 5 tahun saya bergaul dengan mereka, termasuk menginap di sana. Namun hanya satu kali saya berkesempatan untuk mengikuti acara bakar batu. Mulai dari proses menyiapkan bahan mentah, lalu membakarnya dan tentu saja hal yang dinantikan, mencicipi hidangan ala bakar batu itu.
Kebetulan salah satu orang tua bernama Bapak Panus Faumasa bersama menantunya, berhasil mendapatkan seekor celeng sewaktu berburu di hutan.