Sementara kelangkaan minyak goreng belum move on dari Indonesia, berita tak sedap terkait kelangkaan pangan pun datang lagi. Kali ini, datang dari para pengrajin tahu dan tempe. Jika harga terus naik, maka mogok dan demo menjadi pilihan para pengrajin.
Kedelai, sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu terancam langka. Harga kedelai merangkak naik, ketersediaan kedelai pun mulai menipis. Pengrajin tahu tempe harus pintar memeras otak: menaikkan harga atau memperkecil ukuran produk tahu dan tempe.
Kita memang bangsa pemakan tempe, pemakan tahu, kecap dan tauco. Namun banyak yang tidak terlalu mau tahu, kalau kedelai untuk tahu tempe ini didatangkan dari luar negeri alias diimpor.
Lho kok bisa ya? Indonesia bukannya memiliki komoditas kedelai ini? Memang benar, kita pun memproduksi kedelai. Tetapi kedelai dalam negeri ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan warganya.
Tahu dan tempe, kini tidak hanya dikonsumsi oleh penduduk di Pulau Jawa dan Sumatera. Tetapi sudah menyebar secara merata di seluruh Indonesia. Tidak hanya di kota. Sudah beredar hingga ke kampung-kampung di luar Pulau Jawa.
Akibatnya, kebutuhan akan kedelai menjadi meningkat dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari tabel volume impor kedelai, maka per tahun 2015 kedelai impor kita tidak pernah menurun dari 2 juta ton. Bahkan cenderung naik, menuju level 3 juta ton. Dan impor terbanyak datang dari negeri Paman Sam.
Langkanya kedelai dan naiknya harga kedelai ini ternyata dipicu oleh beberapa faktor. Bukan cuma dari internal negara kita, tetapi juga diakibatkan oleh faktor luar.
Berikut beberapa hal yang mempengaruhi kenaikan harga kedelai impor. Juga berpengaruh terhadap peningkatan permintaan kedelai impor:
Terjadi Badai La Nina di Negara Pengekspor