Para penyandang disabilitas adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan. Bisa saja terbatas secara fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama.
Dalam berinteraksi dengan lingkungan, mereka dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Demikian definisi UU no 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Berdasarkan pengertian tersebut dan dalam kehidupan nyata kaum disabilitas, seringkali mereka dikelompokkan sebagai kelas dua, oleh kaum yang berstatus normal.
Seringkali, penyandang disabilitas ini dianggap sebagai beban dalam keluarga dan masyarakat. Dan hak-hak mereka, terutama dalam mengakses fasilitas publik atau kesempatan mendapatkan kehidupan yang sama dengan kelompok non-disabilitas pun masih diabaikan.
Salah satu kelompok disabilitas yang sering kita temui di sekitar kita, adalah kelompok netra yang memiliki keterbatasan dalam melihat dan menikmati keindahan sekaligus hingar-bingar dunia dan seisinya. Mereka lebih banyak mengandalkan perasaan dalam merespon sesuatu.
Namun, jangan pernah menyepelekan penyandang disabilitas netra ini. Di Kota Kupang-NTT misalnya, kelompok disabilitas netra ini memiliki organisasi yang apik, yaitu Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni).
Para pengurus yang juga sama-sama netra ini, selalu membina dan memotivasi anggotanya untuk tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain, tetapi mandiri dan bahkan selalu siap membantu orang lain yang memerlukan pertolongan mereka.
Salah satu profesi kelompok netra di Kupang ini, adalah memijat secara profesional. Mereka dilatih untuk bertanggung jawab dalam setiap pekerjaan, terutama untuk mewujudkan visi Pertuni dimana orang tunanetra dapat berpartisipasi penuh dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan bersama anggota masyarakat pada umumnya atas dasar kesetaraan.
Tak hanya itu. Mereka juga aktif berkarya di Gereja. Di Gereja Katolik Santu Matias Rasul Tofa, Keuskupan Agung Kupang, kelompok disabilitas netra ini selalu memberi bagian, yakni bernyanyi bersama dalam koor sponsor selama berlangsungnya misa di Gereja. Uniknya, penyanyi, dirigen dan organis semuanya netra.
Tetapi jangan anggap paduan suara mereka tidak harmonis. Kita akan merasakan nuansa dan penglaman bathin yang berbeda, manakala mereka bernyanyi. Ya, mereka bernyanyi tanpa melihat teks dan dirigen, tetapi hanya mendengarkan alunan musik lalu secara bersama, bernyanyi dengan harmoni yang indah. Juga sering kali seperti rintihan suara hati.