Lihat ke Halaman Asli

Diah Raharjo: Melalui SVLK, Reputasi Indonesia Semakin Baik

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13443790702123241603

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) kini sudah menjadi instrumen wajib (mandatory) dalam sertifikasi legalitas kayu di Indonesia. Sebagai instrumen sertifikasi yang sifatnya wajib, maka SVLK menghadapi tantangan yang cukup berat dalam rangka mendukung pengelolaan hutan lestari di tanah air, sekaligus membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia mampu menyediakan kayu dan produk olahan dari kayu yang legal untuk konsumen di dalam dan luar negeri.

Multistakeholder Forestry Program (MFP) merupakan program kerjasama Pemerintah Inggris dan Pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk memperkuat SVLK di Indonesia. Melalui dukungan MFP, para pihak berupaya membangun skema legalitas kayu yang bisa diterima pasar. Untuk mengetahui bagaimana tantangan memperkuat SVLK ini, Greenacehnews mewawancarai tokoh penting dalam penguatan SVLK di tanah air, yakni Diah Raharjo. Berikut petikan wawancara dengan Direktur Program MFP yang juga Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional (DKN) ini.

Bisa dijelaskan secara ringkas filosofi mengapa SVLK ini diperlukan.

Sebelum menjawab pertanyaan “filosofi” dari SVLK, ijinkan saya menyampaikan 3 hal dasar dari proses SVLK sebagai sebuah kebijakan yang diadvokasibanyak pihak sejak tahun 2001. Pertama, isu “legalitas” dalam Kebijakan SVLK ini merupakan sebuah proses panjang dalam mencari jalan keluar dari penanganan illegal logging yang marak dan menjadi perhatian atau tuntutan dunia di Bali Declaration Tahun 2001.  Saya melihat perdebatan panjang yang akhirnya memunculkan bahwa “legalitas” menjadi sebuah entry point dari perbaikan akar dari persoalan illegal logging. Semua pelaku sejarah perdebatan awal ini, sedang kami rekam menjadi sebuah film documenter yang akan mengingatkan semua pihak dan menjadi bahan pembelajaran dari sebuah proses advokasi kebijakan.  Kedua, sari dari apa yang menjadi perdebatan dan semangat pembahasan dan juga negosiasi antar pihak di Indonesia tentang term “legalitas” haruslah menjadi sebuah sistem, dimana sistem ini merupakan salah satu instrument bagi perbaikan Tata-kelola Kehutananan. Sehingga sebagai sebuah instrumen Good Forestry Governance, maka peran para pihak secara transparan harus jelas dalam kebijakan SVLK.  Itu sebabnya peran Masyarakat Sipil yang diwakilkan oleh LSM yang bergerak dalam bidang advokasi lingkungan dan kehutanan, sebagai Pemantau Independen harus diberikan ruangnya dalam kebijakan ini sebagai jaminan adanya transparansi dalam pelaksanaannya, serta ada ruang bagi mekanisme complain dan tanggung-gugat. Dan ketiga, verifikasi sistem ini harus teruji dan dapat dipertanggung-jawabkan pada semua pihak di dalam negeri sendiri dan internarional.  Oleh karena itu, sistem ini memberikan porsi tanggung-jawab dari semua pihak yang terlibat dalam alur perbaikan tata-kelola kehutanan.  Keterwakilan dari masing-masing pihak yang berkompeten, terlihat dalam sistem ini.

Sehingga filosofi dari SVLK ini adalah Tata-kelola yang baik,  transparansi dan keterwakilan.

Bagaimana perkembangan SVLK sejak dikeluarkannya P. 68/2009 sampai sekarang.

Perkembangannya sangat baik, karena sejak diundangkannya SVLK sebagai suatu kebijakan di Kementrian Kehutanan, guliran “bola salju perubahan kebijakan” semakin membesar.  Koordinasi antar kementrian terkait  dan lembaga lainnya terjadi secara nyata. Salah satunya adalah koordinasi antar Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Ditjen Bea & Cukai, KAN, para asosiasi dan beberapa pihak lainnya termasuk perwakilan LSM, tentang pergantian peran, fungsi dan mekanisme Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) sebagai lembaga endorsemen ekspor produk perkayuan Indonesia.  Selama ini, tata cara ekspor produk perkayuan diatur melalui peraturan Menteri Perdagangan no P.20/2009. Kemudian dengan keputusan Mendag no. Kep 405/2009 BRIK diberikan mandat untuk melakukan endorsemen terhadap 11 HS produk kehutanan. Karena SVLK  dinilai jauh lebih memiliki kredibilitas dan keberterimaan di pasar kayu internasional sebagai suatu sistem yang secara independen membuktikan legalitas produk perkayuan Indonesia melalui verifikasi administrasi dan fisik di lapangan, maka peraturan Menteri Perdagangan tersebut direvisi dengan melibatkan juga para pihak dan akan segera difinalkan oleh Menteri Perdagangan .

Melalui proses yang panjang antar pihak yang terus membahas Kebijakan SVLK, perbaikan tata-kelola diperlihatkan dengan terbangunnya dan guliran Bola Salju itu adalah telah ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kementerian Kehutanan beserta peraturan teknis terkait penetapan unit layanan informasi di Kementerian Kehutanan dan di unit kehutanan regional, serta integrasi norma terkait keterbukaan informasi dan keberadaan Licencing Information Unit (pusat informasi kayu legal) di Kementerian Kehutanan. Kesiapan sistem informasi  untuk memastikan berjalannya Licencing Information Unit (pusat informasi kayu legal) di Kementerian Kehutanan, diperlihatkan dengan disekapatinya mekanisme kerja antara LIU dengan Bea Cukai, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, termasuk mendukung pemantauan independen yang efektif dengan jelasnya akses informasi di tingkat nasional dan daerah.  Alhamdulillah, LIU telah diluncurkan pada tanggal 1 Agustus 2012, dimana sebelumnya telah disiapkan kelembagaan dan Direktorat Sistem Informasi Legalitas Kayu di Kementerian Kehutanan, yang telah disetujui oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) dan telah dilantik Pejabat dan perangkat yang menyertainya.

Kritisi dan kajian pelaksanaan Kebijakan P. 38/2009 pun dilakukan banyak pihak, sehingga kebijakan inipun mengalami revisi menjadi P. 68/2011, untuk mengakomodasi banyak hal persoalan-persoalan di lapangan dan juga perbaikan dari sistem.  Memang secara penuh perbaikan kebijakan ini belum dan tidak “memenuhi” keinginan semua pihak, namun titik-titik kritis persoalan dari implementasi kebijakan ini terus dilakukan.

Apa perbedaan SVLK dengan sistem sertifikasi lainnya seperti FSC atau LEI.

Perbedaan dari SVLK dan sitem sertifikasinya adalah SVLK Mandatory! Karena SVLK adalah instrumen dari perbaikan Tata-kelola Kehutanan, dimana mewajibkan pada seluruh pelaku usaha dan pengelolaan hutanan dan industri kehutanan untuk diverifikasi legalitasnya.  Sedangkan FSC dan LEI, adalah Voluntary dan merupakan instrument pasar yang mendorong Pengelolaan Hutan secara Lestari.  Sehingga keduanya tidak perlu “diadu” dan dibandingkan, namun saling melengkapi.  Jika Unit Usaha dan Industri Kehutanan yang sudah lolos SVLK, maka akan memudahkan bagi penilaian sertifikasi ekolabeling seperti FSC dan LEI.

Apakah dunia internasional sudah cukup mengakui SVLK sebagai instrumen sertifikasi legalitas kayu yang secara mandatory dimiliki Indonesia?

Untuk Uni Eropa, melalui proses negoasiasi Voluntary Partnership Agreement (VPA), yang merupakan High Call dari CSOs pada saat proses perdebatan dan negosiasi “legalitas”, telah mengakui SVLK sebagai sistem yang memastikan adalah perubahan tata-kelola kehutanan. Indonesia menjadi negara Asia pertama yang memiliki perjanjian perdagangan kayu legal dengan Uni Eropa melalui apa yang disebut dengan Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA). Para perunding Indonesia dan Uni Eropa telah mencapai langkah maju, yang menyepakati FLEGT-VPA menjadi instrumen perdagangan yang memungkinkan hanya kayu dan produk perkayuan yang terverifikasi legal saja yang bisa diekspor ke ke pasar Uni Eropa.

Perjanjian ini sangat perlu bagi Indonesia karena akan memungkinkan eksportir produk perkayuan Indonesia memperluas pasarnya di Uni Eropa. Ini sangat penting, karenaUni Eropa telah mengeluarkan aturan Timber Regulation yang melarang perdagangan kayu-kayu yang dipanen secara illegal dipasar Uni Eropa mulai Maret 2013.  Pihak Uni Eropa telah mengakui bahwa Indonesia telah telah mengimplementasikan sistem verifikasi legalitas kayu untuk menanggulangi pembalakan liar, mendorong perdagangan kayu-kayu legal dan memenuhi tuntutan pasar.

Pada tahun 2008, Amerika Serikat telah meng-amandemen Lacey Act yang mewajibkan importir di Amerika Serikat memastikan bahwa kayukayu yang mereka impor adalah legal. Timber Regulation Uni Eropa juga melarang perdagangan kayu illegal. Ketika perjanjian perdagangan antara Uni Eropa dan Indonesia sudah dalam tahap implementasi penuh, maka kayu-kayu Indonesia akan terverifikasi legal sehingga mendapatkan posisi menguntungkan di pasar Uni Eropa.

Ketika perjanjian dan sistem verifikasi legalitas kayu ini diimplementasikan, maka akan meningkatkan kesempatan bagi kayu-kayu Indonesia di Uni Eropa. Produk-produk perkayuan Indonesia yang bernilai tinggi seperti mebel, bahan-bahan bangunan dan pulp & kertas memberikan sumbangan besar bagi pembangunan ekonomi baik di lingkungan pedesaan maupun di kawasan industri. Perjanjian ini akan merupakan yang pertama di Asia, dan akan meningkatkan reputasi Indonesia baik dalam pemasaran produk perkayuan maupun dalam isyu perubahan iklim.”

Bagaimana kesiapan para pihak dalam implementasi SVLK selama ini.

Sebagai sebuah instrument perbaikan tata-kelola kehutanan, maka semua pihak HARUS DISIAPKAN untuk melakukan perubahan dalam tata-kelola di masing-masing  lembaga. Dan kuncinya adalah pada perbaikan kebijakan dan peningkatan kapasitas.  Di pihak pemerintah, perbaikan birokrasi pelayanan dan sumber-daya manusia mulai dilakukan.  Peningkatan kapasitas di Pusat dan Daerah sedang berlangsung, hal ini bisa terlihat dari alokasi anggaran di masing-masing lembaga pemerintahan baik pelaksanaan SVLK.  Hal ini terlihat nyata di Kementrian Kehutanan.  Dipihak Unit Usaha Kehutanan dan Industri Kehutanan, pembenahan  di manajemen dilakukan dengan menyiapkan seluruh aspek legalitas yang akan diverifikasi.  Hal ini tidak mudah karena berkaitan dengan pengelolaan resiko yang harus dilakukan oleh semua pihak dan memasukan ini sebagai INVESTASI dan bukan sebagai BIAYA.

Di pihak CSOs, peningkatan kapasitas pemantauan dan jejaring serta terus mengkritisi pelaksanaan kebiajakan ini terus dilakukan.  Artinya, kompetensi dan perhatian CSOs dalam memastikan berjalannya pemantauan dan mekanisme complain masih menjadi proses yang saat ini dilakukan oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK).

Apa saja hambatan yang dihadapi para pihak dalam upaya memperkuat SVLK selama ini.

Hambatan dari berjalannya sistem ini adalah memastikan bahwa sistem ini didukung semua pihak dan mengingatkan kembali bahwa SVLK hanya salah satu intstrumen perbaikan tata-kelola kehutanan, artinya SVLK bukan menjadi alat untuk menyelesaikan semua persoalan carut marutnya pengelolaan sumberdaya hutan.  Sebagai contoh, banyak ekspektasi bahwa SVLK harus menyelesai persoalan konflik lahan, misalnya. Jelas secara langsung, indicator dalam memverifikasi legalitas di lapangan tidak diperuntukan untuk menyelesaikan kasus konflik lahan dari unit usaha, karena persoalan konflik penggunaan lahan harus diselesaikan oleh Pemerintah sepenuhnya.

Hambatan lainnya adalah persoalan “black campaign” dari pada pelaku “bisnis perijinan” yang sudah pasti merasa terganggu dengan adanya sistem ini.  Mereka yang paling “terkena” dampak merugi (negative) jika semua pihak menyiapkan perbaikan pelayanan, birokrasi perijinan dan transparansi proses penilaian dan legalitas dalam SVLK.  Sehingga seringkali media digunakan untuk menolak diberlakukannya SVLK, dengan menggunakan terminology bahwa “SVLK   mahal dan membebani pelaku usaha”.  Bagi saya perbaikan tata-kelola kehutanan ini memang harus dibayar mahal oleh pelaku usaha kehutanan dan industri kehutanan skala besar.  Mereka dan para “oknum pemerintah” sudah terlalu lama “menikmati” carut marutnya kebijakan Tata-kelola Kehutanan dan sekarang saat mereka keluar dari sistem ini…. Tidak mudah, tapi harus!  Oleh karenanya saya mendorong agar Pemerintah mengalokasikan APBN untuk menyiapkan dan memastikan terlaksananya SVLK di UKM dan IKM, karena mereka justru yang harus mendapatkan pelayanan dan manfaat dari perbaikan sistem ini.  Kedepan, UKM dan IKM-lah yang bisa diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

SVLK juga terkait erat dengan tata pemerintahan dalam sektor kehutanan. Apakah tata pemerintahan sektor kehutanan cukup membantu proses penguatan dan implementasi SVLK di tanah air?

Harus! Karena konteksnya bukan “membantu” tapi mereka yang harus melakukan “reformasi” dan menjadi mesin perubahan bagi semua pihak di Indonesia.  Sekali lagi, tidak mudah tapi harus!.

Melihat kemajuan SVLK, kemana fokus program MFP ke depan?

MFP adalah sebuah program Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggris bagi perbaikan Tata-kelola Kehutanan.  Sehingga untuk melihat focus MFP ke depan, sebaiknya ditanyakan pada kedua pihak tersebut, karena saya tidak memiliki kapasitas untuk menjawabnya.  Namun saya berharap, peran MFP sebagai fasilitator proses dan pembangunan sistem ini perannya harus mulai dikurangi, agar Bola Salju yang telah bergulir cukup besar menjadi “drive” bagi perbaikan tata kelola sumberdaya hutan di Negeri ini karena SVLK adalah NATIONAL BRAND.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline