Lihat ke Halaman Asli

Viride

penulis

Cerpen | Mimpi Siang Bolong

Diperbarui: 25 November 2018   18:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (foto:pixabay.com)

Hai, aku Yuli. Ya, nama itu terdengar sangat biasa, tapi kuharap kau tak keberatan, karena aku ingin kita berteman dan bercerita tentang kehidupan yang kujalani. Malam ini aku sedang terbaring menatap langit-langit kamar.

Umm, aku dalam keadaan tidak bisa tidur. Sebabnya sangat sepele, aku tidak bisa melupakan lengkungan manis di bibir teman satu kelasku, namanya Adriana. Ia gadis yang cantik, rambutnya panjang, berkulit putih dan orang yang menyenangkan.

Lalu, apa yang aneh dari senyum Adriana, hingga membuatku tak bisa tidur? Semuanya bermula di jam istirahat siang tadi, saat sebagian teman sekelas keluar menuju kantin atau santai mengisi tempat duduk untuk sekedar mencari angin dan bergosip ria di depan kelas.

Aku malah sedang menghadapi tiga orang teman yang saat itu menggenggam handphone keluaran terbaru di masing-masing tangan mereka. Saat itu aku hanya bisa menelan ludah kegetiran, handphone baru yang dengan gampangnya menggunakan sentuhan ujung jari lembut untuk mengoperasikannya. Ya, ampun. Kau tahu, melihatnya saja di tangan teman-temanku sudah cukup membuatku mati rasa sekujur tubuh.

Sungguh aku ingin punya barang canggih seperti itu. Tapi ....

"Kau mau yang seperti ini?" Adriana bertanya sambil menjajari langkahku saat pulang sekolah. "Itu mudah," ucapnya sambil tersenyum.

Di ranjang berlapiskan tilam kapuk, mataku menerawang. langit-langit kamar bukan menjadi fokus tatapanku dan aku bukan sedang menghitung berapa banyak lubang di atap rumah dan bukan pula menghitung berapa banyak tikus-tikus yang keluar masuk dari sudut sana.

Kadang mereka suka mengganggu dengan membuat kebisingan seperti orang bermain bola. Tapi bayang-bayang sosok Adriana. Kejadian siang tadi masih berputar dalam layar proyektor ingatan ini.

"Sebenarnya bukan cuma barang seperti ini yang bisa kau dapat, ini kecil tidak ada apa-apanya." Gadis berambut panjang itu terlihat jelas sedang ingin melakukan pembicaraan serius, pelan-pelan digiringnya langkahku hingga ke samping pagar sekolah.

"Tapi syaratnya kau harus bekerja. Tidak ada yang gratis." Sambil menyilangkan tangan di depan dada, Adriana menatapku dengan senyum yang kali ini berbeda makna dari senyum sebelumnya. Ia sangat yakin kalau aku akan mendengarkan.

Dan benar adanya kalau rasa penarasan adalah suatu keinginan yang membara untuk tahu tentang hal-hal yang tersembunyi. Rasa itu sangat mencengkram gejolak di dalam dadaku. Lebih dari sepuluh menit pembicaraan itu berlangsung dan untuk beberapa saat aku hanya bisa tertegun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline