Masyarakat dunia, juga Indonesia perlu mempertimbangkan strategi jitu yang diusulkan Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers bersama Presiden Asosiasi sepakbola sedunia (FIFA) Gianni infantino yang menegaskan bahwa kita tidak bisa memenangi pertandingan sepakbola hanya dengan bertahan, kita harus menyerang.
Mungkin karena pemikiran itulah maka lembaga sepakbola dunia menggandeng WHO untuk memerangi corona. Banyak pertandingan sepakbola harus dihentikan untuk menghindari terjadinya kerumunan yang menjadi media efektif penyebaran virus corona. Beberapa pemain sepakbola dunia juga tidak luput dari sasaran virus corona, dan kemudian akibat banyak pembatalan pertandingan sepak bola di banyak tempat mengkibatkan beberapa organisasi sepakbolah profesional terancam gulung tikar.
Efek negatif dari strategi bertahan atau strategi Lock Down, karantina wilayah dan berbagai pembatasan jika diterapkan terus menerus akan memiliki konsekuensi ekonomi dan sosial. Apalagi virus corona tidak akan hilang dalam waktu singkat, demikian juga dampak yang dialami korban virus corona tidak langsung beres setelah penghentian kebijakan Lock Down. Pada sisi lain, jika negara-negara yang telah menerapkan kebijakan Lock Down dan kemudian menggunakan strategi keluar diperkirakan bisa menimbulkan terjadi lonjakan kasus.
Mengenai peningkatan penyebaran virus corona ini, Badan Kesehatan Dunia menjelaskan bahwa untuk mencapai jumlah kasus 100.000 diperlukan waktu 67 hari, dan 11 hari kemudian mencapai angka 200.000 kasus, dan emapt hari kemudian mencapai angka 300.000 kasus.
Terkait dengan penyebaran virus yang terus meningkat tersebut, Mark Woolhouse, profesor epidemiologi penyakit menular di University of Edinburgh lebih lanjut mengungkapkan kekuatirannya, masalah besar dunia saat ini adalah mengenai strategi keluar dan cara mengakhiri pandemik corona. Kita berharap Seluruh rakyat Indonesia memerhatikan kondisi yang memperihatinkan dunia ini dan bersatu memerangi corona.
Perdebatan-perdebatan yang tidak perlu secara khusus mengenai kebijakan social distancing pemerintah harus sudah disudahi dan berjuang untuk melaksanakan kebijakan itu untuk membendung penyebaran corona. Demikian juga soal siapa yang perlu didahulukan untuk melakukan Rapid Test. Kebijakan Presiden Jokowi untuk mendahulukan Rapid Test pada tenaga medis adalah tepat, karena merekalah yang paling rentan tertular corona, demikian juga dengan orang dalam pantauan (ODP).
Jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan fasilitas yang dimilikinya ingin melakukan pemeriksaan kepada semua nggota dan keluarganya tentu bukan persoalan, selama usaha itu tidak merampas hak mereka yang wajib melakukan test corona, dan juga DPR harus terlibat dengan sekuat tenaga untuk membantu korban corona, setidaknya anggota DPR memiliki dana yang lebih dari cukup dibandingkan rakyat miskin yang masih banyak di Indonesia, apalagi ketika rakyat miskin tersebut menjadi korban corona.
Sementara ini strategi yang bisa diterapkan adalah melakukan tes massal dan pelacakan kontak serta melakukan penyemprotan untuk mensterilkan daerah-daerah yang terpapar virus corona. Memang sudah ada usaha menemukan anti virus corona, tapi itu masih membutuhkan waktu lama. Prof Woolhouse juga mengungkapkan, Menunggu vaksin tidak seharusnya dianggap bagian dari strategi.
Menjaga jarak "social distancing" atau phisical distancing merupakan cara efektif membendung penyebaran corona dan secara bersamaan juga akan membunuh virus corona yang tidak memiliki tempat untuk berkembang dengan cepat pada tubuh manusia.
Prediksi model penyebaran virus corona di indonesia
Penyebaran virus corona (Covid-19) terus meluas di Indonesia. Sejak diumumkan pasien positif virus coronapertama pada 2 Maret lalu sampai saat ini total pasien positif Covid-19 hingga Selasa siang ada 686 orang. Berdasarkan proyeksi pemerintah yang terpapar Virus corona di Indonesia sekitar 700.000 orang.