Lihat ke Halaman Asli

Binsar Antoni Hutabarat

Dosen, penulis, editor

Covid-19 Sasar UN: Kelulusan Siswa Kedaulatan Sekolah

Diperbarui: 24 Maret 2020   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber antara

Penyebaran wabah corona (Covid-19) memaksa pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) untuk siswa tingkat dasar dan menengah. Desakan penghapusan UN muncul juga dari banyak tokoh bangsa di negeri ini.

Setelah polemik tentang siap tidaknya sekolah-sekolah menyelenggarakan pembelajaran online untuk mewujudkan "sosial distancing" yang menjadi kebijakan pemerintah Jokowi, kini muncul  usulan penghapusan Ujian Nasional. Desakan tersebut antara lain muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat yang dalam rapat bersama DPR dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaann secara online meminta Nadiem Makarim menghapus penyelenggaran UN 2020.

Wacana peniadaan UN kemudian berujung pada polemik tentang bagaimana menentukan kelulusan siswa? Untuk sekolah-sekolah yang mampu menyelenggarakan Ujian USBN (Ujian Sekolah Berbasis Nasional) kelulusan ditentukan oleh USBN. Sedang untuk sekolah-sekolah yang belum bisa melaksanakan USBN secara Daring (dalam jaringan) dapat menggunakan raport sebagai penentu kelulusan.

Tergerusnya Kedaulatan Sekolah

Tekad Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang ingin mengembalikan kelulusan siswa kepada kedaulatan sekolah sejatinya memiliki pijakan yang kuat. Undang-undang (UU) Sisdiknas, secar tegas menjelaskan bahwa kelulusan adalah hak prerogatif sekolah. Karena itu tepatlah jika Nadiem kemudian mengungkapkan standardisasi oleh Kemendikbud terkait kelulusan siswa itu sama saja merampas kedaulatan sekolah. 

Sejatinya yang paling tahu kemampuan siswa adalah guru atau sekolah yang bersangkutan. Kelulusan siswa perlu  dikembalikan ke sekolah sesuai dengan UU Sisdiknas.

Dengan landasan bahwa yang berdaulat menentukan kelulusan siswa adalah sekolah, maka sejatinya tidak perlu lagi ada Ujian nasional (UN), pemerintah sebaiknya lebih baik fokus pada peningkatan fasilitas sekolah dengan peningkatan kualitas guru. Jurang yang lebar antara Kualitas sekolah di desa dan di kota tentu saja membuat UN "mubazir", bahkan dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan ekses negatif, seperti penjualan soal beserta jawaban, sampai kepada kerjasama yang tak halal antara siswa dan guru demi mengangkat ranking sekolah.

Nadiem mungkin masih sungkan jika tidak ingin dikatakan kurang tegas, sehingga sang menteri masih mengijinkan guru-guru yang belum siap menjadi penentu kelulusan siswa karena kebingungan membuat soal yang valid untuk mengukur kemampuan siswa , dan ingin menggunakan format USBN (Ujian Sekolah Berbasis Nasional) masih diperbolehkan untuk menggunakan USBN versi lama.

Nadiem juga memperbolehkan sekolah mendaur ulang soal-soal UN. Namun, tidak ada lagi pemaksaan menggunakan standar dinas atau standar pilihan ganda. Menurutnya itu adalah salah satu penerapan Merdeka Belajar. Sekolah berdaulat menggunakan standar sekolah untuk menentukan  kelulusan siswa.

Peningkatan kualitas guru dan fasilitas sekolah

Adanya pengakuan guru-guru atau sekolah yang belum mampu memegang kedaulatan dalam menentukan kelulusan siswa harusnya menjadi perenungan untuk guru-guru sebagai tenaga profesional, demikian juga untuk pemerintah. Apa yang terjadi di kelas-kelas di sekolah jika sekolah tak mampu melaksanakan kedaulatannya sebagai penentu kelulusan, berarti juga ada persoalan apa dengan guru-guru yang ada saat ini?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline