Lihat ke Halaman Asli

Tentang Gadis Bali dan Bagaimana Mendeskripsikan "Girls Power" (2)

Diperbarui: 16 Maret 2016   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jeje tumbuh di Bali. Masa kanak hingga remaja ia habiskan dengan anak-anak Bali dan tentu saja di tengah ritual-ritual adat Bali yang sakral. Sepanjang masa ini Jeje meresahkan satu hal, “aku tu ngrasa orang Bali gak bisa nerima aku”. Bagian yang amat saya ingat adalah bagaimana Jeje kecil ditertawakan karena rajin belajar dan aksinya melaporkan praktik korupsi di sekolah.

Bagaikan pelari yang meninggalkan lawan-lawannya terlampau jauh di depan, Jeje akhirnya memutuskan untuk mencari jati diri di luar Bali. Ia memulai petualangannya setelah berhasil menuntaskan SMA dalam waktu dua tahun. “Ini turning point aku”, ungkapnya ketika akhirnya diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dengan nada yang membara, ia merasa telah menemukan jawaban atas keresahannya dulu.

Menjalani kehidupan kampus, Jeje merasa berada di tempat yang sesuai dengan jati dirinya. Ia mengagumi kultur belajar yang kompetitif. Ia merasa kedisiplinannya yang sempat ditertawakan, kini menjadi sangat sesuai dengan kehidupan barunya di kampus.

“Aku ngerasa fit-in dengan kultur Jakarta. Orang bisa nerima orang ambisius kek aku. Dan ternyata, bukan Orang Bali yang gak bisa nerima aku, tapi aku yang salah tempat”, tuturnya bergairah.

                Memasuki masa-masa semester akhir, Jeje mulai menemukan minatnya. Ia tertarik untuk meneliti posisi perempuan dalam hukum adat Bali. Kali ini jiwa pemberontak yang sempat tertidur kembali bangkit. Minat Jeje terbentur dengan struktur akademis yang membuatnya tidak bisa melakukan penelitian sesuai dengan keinginannya. “Kalau meneliti hukum di lembaga hukum terlalu positivis, dan aku gak mau”, pungkasnya ketika ia menjelaskan bagaimana penelitian adalah sesuatu yang tidak sexy di ranah hukum.

Jeje kemudian bergerilya untuk mencapai keinnginan dalam menyusun tugas akhir. Dari sini lah Jeje berkenalan dengan dunia media pemberitaan. Mahasiswa cemerlang seperti Jeje tentu saya tidak akan terlewatkan oleh perusahaan yang membutuhkan sosok muda berbakat seperti Jeje. Melalui serangkaian tes, Jeje diterima bekerja. Sekali lagi, seperti yang pernah saya kabarkan, Jeje diterima sebelum mengantongi ijazah kelulusan.

Kini, tepat 24 bulan ia menjadi bagian dari sebuah perusahaan media besar di ibu kota. Ia masih Jeje kecil itu saya rasa, selalu melampaui “pertandingan” yang diselenggarakan. (Arita Nugraheni)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline