Lihat ke Halaman Asli

Tentang Gadis Bali dan Bagaimana Mendeskripsikan "Girls Power" (1)

Diperbarui: 16 Maret 2016   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin bercerita tentang seorang perempuan, yang setidaknya bagi saya, cocok dengan jejuluk Gadis Bali. Mengapa saya sebut demikian? Karena ia memang dari Bali dan sungguh ia masihlah seorang gadis.

                Saya tidak akan menyerahkan deskripsi saya pada sekedar kata cantik, meskipun Gadis Bali ini memanglah cantik. Rambutnya berwana cokelat dengan semburat keemasan pada bagian yang menjuntai dari bahu. Alisnya tebal jika dibandingkan dengan orang Indonesia kebanyakan. Matanya berbentuk seperti sayap elang pada kereta kencana: terkesan oriental. Bentuk matanya tampak senada dengan bingkai kacamata oval yang meruncing ke atas pada ujungnya. Perpaduan ini membuat dia terlihat tegas, dewasa, dan mapan sejak dalam pikiran.

                Gadis Bali sungguh layak untuk diceritakan, tidak bisa tidak. Kulitnya kuning langsat: benar-benar langsat seperti perempuan yang menjadi bintang iklan produk kecantikan. Ia tamat kuliah hukum pada usia 20 tahun dan menjadi bagian dari salah satu korporasi besar, bahkan sebelum dinyatakan lulus. Orang kebanyakan akan menyebutnya dengan istilah whole package, paket komplit idaman semua mertua.

                Singkat kata setelah lama hanya mengandaikan Gadis Bali dari kejauhan, akhirnya saya dapat mendengarkan Gadis Bali mengisahkan perjalanan hidupnya. Diawali dari cerita tentang namanya yang menyimbolkan kasta tertinggi di Bali, kedua saudara laki-lakinya yang digariskan menjadi pendeta sedari kecil, hingga kegelisahannya ketika masa kanak.

                Gadis Bali lahir di tengah kultur patriarki. Pewarisan tugas sebagai Brahmana diturunkan bagi kakak dan adik laki-lakinya. Maka dari itu, kedua orang tuanya membebaskan Gadis Bali untuk menentukkan jalan hidupnya sendiri. “Aku boleh pilih mau jadi apa, nikah dengan siapa, beragama apa, orang tuaku ngebebasin”, tuturnya.

                Meski demikian, kekerabatan dengan sistem patriarki membawa konsekuensi lain. “Kalau aku nikah sama bukan orang Bali, aku gak berhak lagi atas nama Ida Ayu, nama kastaku ini”. Kesadaran akan sistem kekerabatan ini pula yang membuat orang tua Gadis Bali tidak pernah memanggil Gadis Bali dengan nama kastanya. Kedua orang tuanya memilih memanggil Gadis Bali kecil dengan panggilan Jeje atau Ajeng.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline