Di kota kenangan, malam hari adalah segalanya bagi setiap penduduk. Sepanjang jalan lampu-lampu bergaya gotik bertebaran, berjajar dengan kafe, bar dan restoran yang memperdengarkan musik jazz akustik.
Di bangku besi di trotoar, duduk seorang perempuan manis bertopang dagu. Memerhatikan kehidupan malam sambil menunggu sesuatu. Konon, dia adalah seorang model. Bersedia berpose apa saja asal bisa membayar apartemen, makan pagi yang enak dan tentu saja kelengkapan rias yang akhir-akhir ini membumbung tinggi harganya.
“Aku punya tubuh yang bagus, tulang wajah yang berkarater dan kulit yang mulus. Tidak kah kau lihat itu?” kata si model kepada seseorang yang melintas di depannya.
“Hei, sebentar, duduklah di sebelahku, akan kuterangkan silsilahku, bahwa ibuku juga model, ayahku seorang pemotret profesional. Ini karyanya,” tambah si model sambil memperlihatkan lembaran majalah mode yang lusuh.
“Atau jika kau punya waktu lebih, kau bisa ajak aku ke kafe itu. Aku bawa tas portfolio, ada beberapa contoh fotoku yang kupikir kau akan tertarik. Dan lagi aku cukup seksi, nanti kau lihat sendiri, asal ada secangkir kopi di depanku. Dan kita akan berbincang banyak hal di bawah langit bergemintang seperti malam ini. Bagaimana, setuju?”
Yang diajak bicara lewat begitu saja, menoleh pun tidak.
Seratus meter dari si model duduk, dua lelaki menikmati malam dengan minuman alkohol murahan. Yang satu disebut-sebut orang sebagai lelaki pengembara visual.
“Kau diam saja? Maksudku, apakah pemandangan kali ini membosankan?” tanya karib si lelaki pengembara visual.
Lelaki pengembara beranjak dari sudut gelap dekat gerai hot dog yang dipenuhi mahasiswa.
“Mau ke mana? Mencari pelacur ya?”
Lelaki pengembara tak menjawab sepatah kata pun. Percuma baginya meneruskan omong kosong, dan lagi ada sesuatu menarik hatinya sedari tadi. Itu dia yang kucari, batinnya. Lalu meneruskan langkahnya, memasukkan kedua tanggannya dalam saku mantel berkerah tinggi. Santai saja. Seolah menyimpan rapat-rapat penemuannya. Tak sesiapa pun boleh tahu.