Lihat ke Halaman Asli

Granita Medina Alisya

Mahasiwa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Telkom

Ngadu Muncang Sebagai Warisan Budaya: Mempertahankan Tradisi Melalui Permainan

Diperbarui: 12 November 2023   23:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Pendahuluan :

Masa kanak-kanak merupakan fase yang ideal untuk mengembangkan keterampilan motorik, mematangkan otot dan syaraf dengan menggunakan semua indera mereka. Ini membentuk dasar visual-motorik yang merangsang perkembangan keterampilan emosional dan sosial (Yusep Mulyana, 2019). Permainan tradisional mencerminkan nilai-nilai dalam masyarakat dan merupakan hasil karya manusia yang memasukkan unsur budaya, selalu terhubung dengan interaksi manusia dengan alam sebagai hal yang dihormati dan dilestarikan.

 Meskipun permainan tradisional memiliki makna yang dalam, sayangnya, kehadirannya sering terabaikan dan tergantikan oleh permainan modern yang canggih dan instan, berpotensi memupuk sikap konsumtif pada anak-anak. Pentingnya permainan tradisional adalah pembelajaran alami yang mendorong energi untuk mengembalikan unsur kemanusiaan dalam proses pembelajaran. Melalui partisipasi langsung dalam permainan tersebut, anak-anak dapat merasakan energi yang memengaruhi seluruh sistem tubuh, merangsang proses sensorimotorik yang beragam. Selain itu, permainan tradisional juga memberikan landasan untuk melatih keterampilan bersosialisasi, karena melibatkan dinamika kelompok yang memerlukan interaksi alamiah dalam proses pembelajaran bersama orang lain.

Perkembangan zaman yang terus berlangsung mendorong perubahan dalam peradaban budaya. Perubahan tidak hanya mencakup kemajuan dalam seni budaya, tetapi juga menghadirkan inovasi teknologi yang semakin pesat. Transformasi ini tidak hanya terbatas pada perubahan dalam lingkungan sosial, melainkan juga memengaruhi pola bermain anak-anak. Cara anak-anak bermain mengalami evolusi seiring waktu. Di era saat ini, anak-anak cenderung kurang familiar dengan permainan tradisional, bahkan ada yang sama sekali tidak mengenalinya. Perubahan ini mencerminkan pergeseran struktural yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Keistimewaan permainan tradisional dapat dilihat dari perbedaannya dengan permainan modern yang sedang berkembang saat ini. Jika kita menggali lebih dalam ke dalam dunia permainan tradisional, kita akan menemui nilai-nilai yang sangat menarik dan tentunya memberikan kontribusi positif untuk perkembangan karakter anak. Penting untuk diakui bahwa sebuah permainan yang berperan baik dalam pembentukan karakter anak seharusnya memiliki keseimbangan antara faktor psikis (sekitar 50%) dan faktor fisik (sekitar 50%) (Hikmah Prisia Yudiwinata, 2014).  Artinya, setiap permainan yang dianggap baik seharusnya memiliki aspek-aspek yang komprehensif untuk mendukung perkembangan fisik dan psikis anak-anak.

SEJARAH PERMAINAN TRADISIONAL KHAS SUNDA : NGADU MUNCANG

Pernahkah kalian mendengar permainan ngadu muncang? Ya! Ngadu muncang merupakan permainan tradisional yang berasal dari Provinsi Jawa Barat. Dalam Bahasa Indonesia, muncang merupakan biji kemiri.  Tidak hanya digunakan untuk bumbu masakan, bagi masyarakat sunda, kemiri juga bisa digunakan menjadi alat permainan tradisional. Kemiri atau muncang memiliki tingkat kekerasan yang berbeda, sehingga rempah masakan ini dijadikan bahan adu permainan yang terkenal di kalangan Masyarakat sunda yaitu ngadu muncang.

Dikutip dari berbagai Sejarah, permainan ngadu muncang berawal dari kalangan keraton. Kemudian menyebar pada rakyar biasa. Hermanus Johanned de Graaf, seorang sejarawan Belanda menuliskan bahwa permainan adu muncang ini juga dikenal dengan sebutan mirobolani. Raja Nusantara yang gemar bermain adu muncang yaitu Sultan Agung atau biasa disebut Raja Mataram. Dahulu, Sultan agung mewajibkan beberapa orang untuk mengikuti permainan ini. Namun, jika ketahuan curang, maka Sultan Agung tak segan untuk menghukumnya dengan memenggal kudu miliki pemain yang curang. Hermanus Johanned de Graaf, seorang sejarawan Belanda menuliskan bahwa permainan adu muncang ini juga dikenal dengan sebutan mirobolani.

Dalam majalah Narpawandawa yang dicetak pada februari 1927, diceritakan tentang Raja Mataram yang gemar bermain adu muncang.


"Kuwasanipun ingkang Sinuhun Kangjng Sultan Agung punika tanpa watsan, inggih punika wontn ing kalangan abn kmiri. Dolanan ingkang makatn punika kala taun Walandi 1623 pancn kadhawuhakn ing sang prabu, mila wontn ing karaton dados cara. Sampun nate ingkang sinuhun kasukan abn kmiri kalihan prayagung sakawan, priksa kmirinipun kirang anggnipun anggarap, mngka masthinipun anggning anggarap kdah alus ngantos mlng-mlng, ingkang sinuhun lajng duka, dhawuh mundhuti kapalipun, kapagas gulunipun wontn ing ngajnganing ingkang gadhah sarwi angandika: yn ana sing kumawani kaya mangkono manh, masthi tak tigas gulune kayadene jaran iki, wontn priyagung kalih malih ingkang kadukan, lrs kmirinipun sampun kaupakara sae, nanging drng patos dados kados karsa dalm, punika ugi tampi paukuman."

"Kekuasaan Yang Mulia Sultan Agung tidak terbatas, yaitu ada di kalangan aben kemiri. Permainan semacam ini pada zaman Belanda tahun 1623 benar-benar diperintahkan oleh raja, jadi sebagai jalan di keraton. Sekali orang yang diajak bertemu dengan keempat bangsawan itu dicek pendapat dan pemikirannya, maka bisa dipastikan menurutnya baik sampai dilihatnya. kaku seperti kuda ini, ada dua pangeran lagi yang bertarung, memang benar mereka telah melakukan pekerjaan dengan baik, tetapi mereka tidak melakukan apa yang mereka inginkan, mereka juga akan menerima hukuman."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline