Lihat ke Halaman Asli

Mengintip Kantor Stomp, Kompasiana-nya Singapura

Diperbarui: 5 September 2016   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SPH Digital Group

Hari kedua (perjalanan di hari pertama terangkum di artikel berjudul Menyicip Rasa Media Raksasa Singapura), kami melanjutkan kunjungan ke SPH Digital, yaitu grup digital dari Singapore Press Holdings (SPH). SPH Digital memiliki beberapa unit usaha: AsiaOne, Stomp, SPH Razor, dan Brand Insider. Sama dengan hari sebelumnya, kali ini kami juga disambut hangat oleh manajemen SPH, yang berbeda dari hari kemarin hanyalah suasana ketika kami masuk ke kantor redaksinya. Apabila kemarin kantor The Straits Times terasa formil, maka Di SPH Digital kantornya terkesan lebih santai dan non-formil. Ruangannya didesain kreatif, atmosfer lingkungan kerjanya menyenangkan. Dan juga dengan orang-orangnya, mereka hanya menggunakan setelan kaus dan jeans.

new media dan messanger yang terintegrasi

Di sini kami banyak berdiskusi dengan Stomp, media yang berhaluan citizen journalism. Ya betul, bisa dikatakan Stomp itu seperti Kompasiana, tapi ala Singapura. Berbeda dengan atmosfer yang terlihat, di balik segala kesan santai, para pekerjanya menggarap Stomp dengan sangat mature. Integrasi dengan media tradisional, new media dan bahkan melalui Whatssapp messanger (seperti yang sudah saya ulas kemarin) telah mereka lakukan. Namun masih ada dua hal baru yang saya dapatkan di sini.

First lesson, yaitu Whatsapp. Mereka menggunakan Whatsapp untuk mendapatkan berita dari masyarakat. Jadi, selain digunakan untuk mem-posting berita terbaru yang sedang tayang di Stomp, Whatsapp juga mereka manfaatkan juga sebagai media agar masyarakat dapat memberikan informasi terkini. Intinya, masyarakat tidak melulu harus menggunakan email atau akun Stomp untuk berkontribusi membuat berita, melainkan cukup dengan foto atau video dengan sedikit uraiannya, lalu mereka kirimkan ke Stomp melalui Whatsapp. Dengan demikian, satu berita baru telah masuk ke redaktur Stomp.

Grup Whatsapps Stomp

Selanjutnya, redaktur Stomp akan mengukur nilai berita dari informasi tersebut. Jika layak tayang, maka narasumber akan dikroscek kembali agar berita yang ditampilkan Stomp lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Second lesson adalah bukti betapa mature-nya SPH Digital. Segala hal yang mereka akan lakukan berdasar pada data. Begitu juga dengan apa yang telah mereka lakukan, semua terukur. Ketika kami berjalan-jalan di kantor redaksi SPH Digital, pada beberapa sudut terpampang televisi besar yang selalu menayangkan update berisi tampilan angka yang merupakan data. Saya katakan, inilah kedewasaan itu. Tidak hanya berapa besar coverage yang mereka lakukan, tetapi juga terlihat data yang menunjukkan seperti apa selera pasar dan seefektif apa berita yang mereka hasilkan. Simpel saja, mereka 'hanya' menggunakan AT Internet untuk melakukan pengukuran. Walaupun berbayar, namun pesan mereka bisa tepat sasaran sehingga mereka bisa meraih keinginan pasar. It’s so fair.

Salah satu wall board measurement. Dokumentasi pribadi.

Hanya dengan dua hari berada di Singapura, otak saya sudah berhasil di-upgrade oleh SPH untuk bisa menerapkan lesson yang saya dapatkan untuk dikontribusikan kepada perusahaan, khususnya di bidang komunikasi. Pertama, pelajari karakter komunikan dan media yang banyak digunakan melalui data yang akurat untuk memilih media yang akan kita gunakan untuk menyebarkan berita. Kedua, integrasikan media tradisional, new media, dan messanger untuk lebih interaktif. Ketiga, dalam menyajikan pesan sudah menjadi kewajiban untuk menyuguhkannya dalam tampilan visual yang menarik dan mudah dipahami. Terakhir adalah mengukur semua aspek komunikasi, mulai dari selera komunikan paling kini hingga efektivitas pesan yang telah kita sampaikan.

Semoga ilmu yang saya bawa dari Singapura bisa diterima oleh perusahaan dan dapat memberikan kontribusi positif tentunya. Seperti halnya Bibit Waluyo yang akhirnya bisa diterima oleh masyarakat Jawa Tengah untuk menjadi Gubernur karena Ia membawa pengalamannya di kota untuk membangun desanya. (END)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline