[caption caption="Bung Pepih sang CEO Kompasiana"][/caption]Seminggu terakhir ini mungkin jadi titik balik cara pandang hidup saya. Dunia tulis menulis yang bagi saya sudah tidak asing lagi, dibuat berantakan, kocar kacir semuanya. Saya harus menyusun ulang bangunan pemikiran saya soal menulis. Bagi saya menulis adalah rekonstruksi suatu pemikiran, fakta, ide, atau gagasan ke dalam suatu rentetan kalimat dengan gaya khas si penulis. Namun seminggu magang di Kompasiana membuat saya terperangah. Pemahaman saya ternyata sudah kadaluarsa alias nggak update.
Versi 1.0
Dimulai 3000 tahun sebelum masehi, cikal bakal tulisan diperkenalkan oleh bangsa Mesopotamia. Hingga berabad-abad kemudian, tulisan hanya menggunakan gambar dan simbol. Manusia belum mengenal huruf dan kalimat pada zaman ini.
Mereka menulis sekedar untuk meninggalkan “jejak”. Prasasti-prasasti mereka hanya menceritakan sejarah ataupun mitos dari suatu kelompok masyarakat.
Versi 2.0
Manusia sudah mulai mengisi era ini dengan karya tulis di berbagai bidang. Di era ini mulai berkembang ilmu pengetahuan yang lahir dari tulisan. Buku, jurnal, koran, hingga buku harian menghiasi era ini. Industri pun masuk hingga ranah penulisan.
Tujuan penulisan pun mulai variatif, mulai dari penyebaran firman hingga urusan komersial. Orang menulis dengan kaidah yang dibakukan. Jika tidak sesuai dengan aturan tersebut, jangan harap publik bisa menerima pesannya. Ada sistem sentralisasi dan hierarki informasi. Sebut saja di media massa ada redaktur. Di dunia penerbitan ada editor. Tulisan pun akan tersortir lebih dulu sebelum masyarakat mengonsumsinya. Di zaman inilah muncul istilah buku adalah jendela dunia, karena begitu sentral peranan buku dan produk turunannya.
Versi 3.0
Pemahaman saya soal penulisan di era ini dimulai saat saya magang di Kompasiana. Materi yang disampaikan oleh para punggawa Kompasiana ini tercetak baik di otak saya. Bung Pepih, Bung Nurul, dan Bung Isjet mulai mengubah mindset saya di pertemuan pertama. Soal menulis di zaman digital dan blogging. Mereka satu persatu melepaskan bagian demi bagian bangunan pikiran saya. Ditambah lagi Bung Hilman dan Bung Fikri yang banyak menyampaikan masalah sosial media dan multimedia, semakin menyempurnakan dengan membongkar pondasinya. Good job!
[caption caption="Bung Hilman yang terkenal itu"]
[/caption]Seminggu ini saya diperkenalkan dengan dunia menulis dimana kaidahnya sudah tidak lagi sepenting era sebelumnya. Sosial media-lah yang mengubahnya. Manusia sekarang banyak berkumpul di suatu tempat bernama dunia online. Mereka sudah berubah perilaku dengan mencari informasi lewat layar empat sampai lima inchi yang disebut gadget. Alhasil, buku pun perlahan menghilang dan saya rasa koran pun akan tinggal kenangan. Penulis pun berramai-ramai pindah haluan, memadati media online. Eh, tapi bukan hanya penulis seperti yang kita kenal di era sebelumnya lho, di zaman ini semua orang adalah “penulis” alias sumber informasi.
Manusia sudah bebas menulis apa saja, termasuk yang saya tulis ini, hehe, dan langsung bisa dibaca oleh semua orang dari segala penjuru dunia. Hebatnya semua itu tanpa ada filterisasi redaktur atau apapun. Sangat bebas dan egaliter. Apakah orang harus tahu tentang 5W+1H? Tidak! Orang bisa menyampaikan pemikirannya dari suatu kamar yang sempit langsung kepada Presidennya tanpa harus dengan bentuk yang terstruktur dan sesuai aturan. Itulah kira-kira lesson learn pertama dari program magang ini.
[caption caption="Kelas Multimedia oleh Bung Fikri"]
[/caption]Lanjut yang kedua, manusia sekarang memiliki banyak identitas di dunia online. Kira-kira seperti halnya perbedaan antara KTP dan SIM. Identitas di dunia blog akan berbeda dengan Facebook, Twitter, Instagram, Path, YouTube dan yang lainnya. Di masing-masing “dunia” itu memiliki karakter sendiri-sendiri. Di Kompasiana saya diberikan tantangan untuk menulis di blog setiap hari. Saya baru menyadari bahwa itulah salah satu identitas saya untuk berhubungan dengan publik. Tidak cukup sampai disitu, sebagai syarat, tulisan saya harus diintegrasikan ke sosial media setelah terposting di blog. Artinya tulisan saya di dunia blog akan terbaca juga oleh masyarakat yang mendiami dunia sosial media. Maka terjadilah integrasi identitas saya di dunia online. Dari situ saya baru paham bahwa sebuah tulisan atau informasi harus nge-link ke sosial media agar lebih efektif menjangkau publik. Karena di era desentralisasi informasi ini membuat orang dapat mengambil referensi dari mana saja, tanpa memperhatikan apakah referensi itu memenuhi syarat “ilmiah” atau tidak. Inilah yang kemudian menjadi tuntutan penulis kini untuk membanjiri dunia online dengan berbagai macam konten informasi.
Lesson learn ketiga. Inilah yang menyempurnakan program magang ini. Bahwa sejatinya manusia akan jauh tertarik dengan sajian visual terlebih lagi audiovisual. Tulisan yang hanya terdiri dari rangkaian kalimat tanpa disertai gambar sudah bukan zamannya. No pict is hoax. Semakin banyak indera manusia dilibatkan dalam menerima pesan, akan membuat pesan lebih optimal tersampaikan. Seminggu ini saya telah didoktrin untuk selalu menampilkan gambar dalam setiap tulisan. Tidak hanya itu, tantangan membuat video menggunakan ponsel juga sudah jadi salah satu "menu makanan" disini. Tujuannya jelas, agar semakin mudah saya menyampaikan informasi berupa tayangan audiovisual yang tentunya lebih menarik publik untuk mendapatkan informasi.
[caption caption="Bikin film hanya pakai HP"]
[/caption]Keluar dari akademi Kompasiana membuat saya mengerti bahwa menulis tidak hanya rekonstruksi isi kepala ke dalam sebuah rentetan kalimat. Sekarang, menulis sudah “naik level” menuju ke arah visual. Kaidah menulis sudah tidak lagi menjadi tuntutan publik.