Lihat ke Halaman Asli

Masih Adakah Harapan Tersisa?

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku duduk memandangi jendela tua rumahku yang basah oleh air hujan, aku pandangi nian suasana di luar yang nampak gelap karena memang listrik di desaku ini masih sangat minim.

Disini hanya ada aku dan ibuku serta rasa sepiyang selalu berkalang kabut, karena bapak sudah pergi merantau selama 5 tahun.

Masih teringat dibenakku saat dia pergi melewati pintu tua itu mengenakan kemaja kotak-kotak yang usang serta bekal yang hanya seadanya sebelum dia pergi, dia mengusap kepalaku dan berkata “tenanglah nak bapak akan segera pulang dan membawakanmu banyak mainan” lalu dia tersenyum hangat dan pergi. Tapi sekarang apa pentingnya mainan itu aku sudah berusia 12 tahun dan sudah tidak butuh mainan. Aku hanya ingin ayah pulang atau mungin hanya berbicara padanya hanya untuk memastikan dia baik-baik saja dan tidak melupakanku .

Siang ini saat aku pulang sekolah aku melihat keluarga yang sedang bermain bersama. Betapa irinya hatiku melihat hal itu sudah lama sekali aku ingin melalukannya bermain bersama Ayang dan Ibu naik kepundak Ayah dan bernyanyi bersama, tapi mau bagaimana lagi aku bahkan sudah hampir lupa suara ayah seperti apa.

Akupun hanya berlari sambir berlinang air mata menyusuri jalanan kecil menuju rumahku, saat sampai dirumah ibu bertanya kepadaku kenapa menagis? Aku hanya menggelengkan kepala dan dia pun hanya tersenyum dan mengatakan jangan bersedih.

Suatu hari pamanku dari kota datang berkunjung bersama keluarganya dan dengan polos aku bertanya “mana ayah?” dia hanya menjawab “ayahmu belum biasa pulang” aku pun langsung terdiam dan pergi kebelakang rumah. Bibiku menghampiri dan bertanya “kenapa?” aku hanya menggeleng lalu dia bertanya kembali “kamu rindu ayahmu ya?” aku pun mengangguk. Lalu dia mengeluarkan ponselnya memencet tombol-tombol yang ada dan memberikannya kepadaku “ayo kamu bisa bicara dengan ayahmu” aku meraih benda itu dan tak berapa lama terlihat sosok yang aku kenal dengan jelas dan aku pun menangis. Betapa hebat jaringan Telkomsel sampai kepelosok desapun kualitasnya masih membanggakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline