Lihat ke Halaman Asli

Gracius Randy

Mahasiswa

Smurfing: Raja di Antara Pecundang

Diperbarui: 19 Desember 2022   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash.com

Maraknya peristiwa smurfing pada game online

Dalam beberapa kesempatan kita kerap kali mendengar kata smurf dibicarakan oleh gamers saat bermain. Mungkin saat pertama kali mendengar hal itu, yang ada dipikiran kita adalah makhluk berwarna biru menggemaskan dari film besutan Sony. Namun, sebenarnya mereka sedang membicarakan strategi dan tindakan sneaky, curang, dan menjengkelkan dalam online game. Smurfing dilakukan oleh gamers yang memiliki keterampilan tinggi yang membuat akun baru sebagai samaran agar bisa melawan pemain baru. Hal ini membuat smurfing melawan tujuan dasar dari semua game online yaitu semua pemain menaikan level serta keterampilan dan akan dipertemukan dengan pemain lain dengan keterampilan yang sama. Akan tetapi, hal tersebut akan membuat pemain awam kesulitan untuk menikmati permainan tersebut.

Semua ini dimulai oleh dua gamers berpengalaman dari Blizzard Entertainment yakni Geoff "Shlongor" Frazier dan Greg "Warp" Boyko di tahun 1996. Warcraft II: Tides of Darkness menjadi target pertama dari keisengan dua pemain tersebut.  Kata smurf ini diambil dari username mereka yaitu PapaSmurf (Fraizer) dan Smurfette (Boyko) saat membuat akun baru. Hal ini disebabkan karena  mereka merasa "sendirian" dikarenakan  skill yang dimiliki cukup tinggi sehingga membuat pemain lain cenderung menghindar ketika melihat username mereka. Semenjak kejadian itu, julukan smurf sering dipakai kepada gamers jago yang menyamar walau  tanpa ada tambahan  "smurf" pada username-nya.

Penyedia layanan live streaming seperti Twitch, YouTube, dan lain sebagainya merupakan faktor pendukung dari berkembangnya kasus smurfing. Hal ini dikarenakan banyak content creator yang melakukan smurfing demi menggaet penonton. Para content creator ingin  penonton melihat mereka mempermalukan player awam atau "tes mental" dengan cara menghina dan melakukan sesuatu untuk merugikan tim sendiri dan tim lawan, sehingga memicu reaksi pemain lainnya. Bila dilihat dari sisi positif, mereka juga ingin membantu teman untuk rank up/boosting dikarenakan adanya gap peringkat antar teman satu party (istilah satu tim dengan teman) yang tidak memungkinkan untuk bermain bersama apabila menggunakan akun utamanya, mereka juga mempelajari teknik atau strategi baru yang tidak lazim, menguatkan percaya diri, dan lain sebagainya.

Smurfing menjadi akar permasalahan di dunia game online. Karena membuat akun baru serta menaikan level cukup memakan banyak waktu, muncul jual/beli akun baru yang siap pakai untuk aktifitas sneaky ini. Hal ini juga memicu orang untuk berbuat curang dengan menggunakan bot sekadar untuk menambah Experience Point/EXP akun hingga mencapai batas yang diinginkan supaya akun tersebut bisa dijual. Sistem pembentukan pertandingan menjadi rusak karena tidak bisa tersaring dengan baik.

Apa yang dirasakan oleh player yang berhadapan dengan para smurfer? Hal pertama yang muncul pasti jengkel, marah, frustasi, dan berbagai emosi lainnya. Istilah rage quit juga muncul karena pemain awam frustasi saat berhadapan dengan mereka dan memutuskan untuk keluar di tengah pertandingan. Emosi inilah yang menjadi suatu hiburan bagi para smurf dan content creator juga dapat meraup traffic serta engagement dari penonton lainya. Banyaknya smurf juga menjadi faktor kematian dari game itu sendiri dimana Playerunknown's Battleground (PUBG) menjadi salah satu contoh game yang mulai ditinggalkan.

Kehendak Buta serta kebijaksanaan hidup  

Schopenhauer memiliki pandangan yang menjelaskan bahwa semua praktik manusia diatur oleh dorongan di dalam diri disebut 'kehendak'. Kehendak adalah "dorongan yang kuat, tidak sadar, buta dan tak terbendung". Kehendak digambarkan seperti orang kuat yang buta menggendong orang lumpuh yang melek (Abidin, 2006). Jadi apapun yang kita inginkan dan lakukan adalah tindakan yang tidak rasional, melainkan kita dapat membuat suatu alasan yang rasional karena keinginan kita akan hal tersebut. Manusia juga kerap kali berpikir bahwa mereka dituntun oleh apa yang didepan mata mereka, namun kenyataanya mereka didorong oleh perasaan yang tidak disadari. Menurutnya, kecerdasan kita sebagai manusia hanyalah alat untuk mewujudkan kehendak kita.

Kehendak membutuhkan kepuasan yang konstan dan tanpa batas. Tetapi tidak mungkin untuk mencapai kepuasan yang lengkap dan tak terbatas ini. Kondisi ini sungguh menyiksa dan menimbulkan berbagai penderitaan dalam hidup. Meskipun keinginan yang telah dipenuhi dan penderitaan telah dihapuskan, maka kebosananlah yang akan menggantikannya sehingga orang akan lebih menderita lagi. Schopenhauer juga mengatakan apabila manusia memilih untuk menuruti kehendaknya, maka ia akan jatuh kedalam kehampaan yang penuh akan penderitaan.

Manusia merupakan makhluk yang greedy atau serakah atas segala hal sehingga terjadi peperangan, pertentangan serta perjuangan hidup dan mati. Setelah manusia menaklukan apapun yang disekitarnya, maka semua itu akan dimanfaatkan untuk kepentingannya.

 Mengejar kepuasan duniawi dapat membuat manusia cepat bosan karena itu bersifat jangka panjang. Oleh karena itu, Manusia perlu kebijaksanaan dalam menimbang segala sesuatu. Intelektual juga tidak selalu patuh dengan kehendak bahkan dapat menguasainya apabila manusia mengembangkan intelektualnya. Penaklukan atas dunia bukanlah suatu prestasi yang mengagumkan, melainkan penaklukan atas diri sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline