Unggah-ungguh merupakan suatu adat Jawa yang saat ini dijadikan ciri khas atau karakteristik dari masyarakat Jawa itu sendiri. Unggah-ungguh dapat dikatakan sebagai kaidah atau pegangan yang digunakan masyarakat Jawa dalam bertutur kata ataupun bertingkah laku dengan cara sangat memperhatikan penutur dan lawan tutur, serta di dalam unggah-ungguh juga memperhatikan situasi dan kondisi yang bertujuan untuk menjaga sopan santun dengan maksud untuk menghormati dan menghargai orang lain, terutama orang yang lebih tua.
Lalu, Bagaimana sebenarnya unggah-ungguh itu?
Unggah-ungguh ditunjukan melalui banyak cara, salah satu caranya yaitu membungkukkan badan ketika berjalan atau lewat di depan orang lain, terutama orang yang lebih tua, tidak bersuara dengan keras-keras, tidak menatap mata orang yang lebih tua, bertutur kata yang baik, berbicara dengan nada dan bahasa yang halus, dan sebagainya. Hal ini tentu seluruh masyarakat Indonesia memiliki budayanya tersendiri dalam hal mengedepankan sikap menghormati dan menghargai, yang membedakan masyarakat Jawa dengan masyarakat lainnya adalah masyarakat Jawa lebih mengedepankan sesuatu yang tidak berlebihan dan sopan terutama dalam bersikap dengan orang yang lebih tua.
Unggah-ungguh merupakan habitus yang terjadi di dalam masyarakart Jawa, Habitus menurut Bourdieu adalah pembatinan nilai-nilai sosial-budaya yang beragam dan rasa permainan yang melahirkan berbagai macam bentuk gerakan. Berbagai bentuk gerakan itu yang disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan. Habitus merupakan kontruksi psikologi (mental) individu secara sosial, nilai-nilai mental yang dibentuk oleh lingkungan sosial-budaya. Dapat dikatakan bahwa habitus adalah logika selera yang mengikuti logika kebiasaan dalam interaksi sosial. Chomsky, mengidentifikasi budaya dengan bahasa sebagai sistem terbuka dimana bentuk, gaya dan maknanya. Secara khusus dan konstan diciptakan, diperkuat, diproduksi (ditransendensikan), di dalam hal ini habitus dilakukan secara mengalir di dalam kehidupan manusia dan dilakukan secara tidak sengaja di dalam perilaku keseharian manusia sehingga diciptakanlah seuatu budaya yang akan diwariskan turun termurun.
Terdapat dua hal penting yang dikemukakan oleh Bourdieu di dalam habitus, yaitu :
1. Habitus menjiwai tindakan kolektif aktor-aktor sosial maupun individual, aktor-aktor yang memiliki posisi yang sama dalam satu bidang.
2. Cenderung mengembangkan disposisi yang serupa dan dengan demikian melakukan praktik-praktik yang serupa pula.
Unggah-ungguh dikenalkan oleh masyarakat Jawa melalui kebiasaan sehari-hari, walaupun unggah-ungguh tidak ada peraturan secara tertulis, namun masyarakat Jawa pasti sudah mengetahui akan adanya unggah-ungguh sebagai norma dan tata cara berperilaku kepada orang lain, terutama orang yang lebih tua tersebut. Unggah-ungguh diwarisi secara turun temurun bahlan sampai saat ini, di era perkembangan teknologi dan globalisasi yang semakin pesat, unggah-ungguh tetap dipertahankan dan diutamakan oleh masyarakat Jawa, di samping budaya saat ini yang sudah mendunia dan menjurus ke budaya Barat yang dimana masyarakatnya lebih modern dan individualis, masyarakat Jawa tidak akan melupakan dan menghilangkan unggah-ungguh karena hal ini sudah melekat pada masyarakat Jawa dan menjadi suatu identitas yang sangat melekat dan hal ini juga sangat dikenal oleh masyarakat di luar Jawa. Salah satu unggah-ungguh yang sangat terlihat di dalam masyarakat Jawa adalah ketika membungkukkan badan saat jalan atau melewati di depan orang yang lebih tua, walaupun masyarakat lain tentu menghormati orang yang lebih tua, tetapi membungkukkan badan adalah salah satu unggah-ungguh yang unik serta menarik di dalam masyarakat Jawa. Keberadaan budaya Unggah-ungguh adalah sebagai bukti adanya habitus yang terjadi di dalam masyarakat Jawa dan tidak hilang sampai saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H