Sebagian masyarakat sudah tak asing lagi ketika mendengar kata "Klitih" yang belakangan ini kembali menjadi sorotan di media sosial. Kepanjangan dari klitih merupakan keliling mencari darah, namun masyarakat biasanya akrab menyebutnya sebagai klitih dan klitih sudah menjadi berita yang umum kita dengar dalam masyarakat.
Klitih berasal dari bahasa Jawa yang memiliki artian sebagai aktivitas untuk mencari angin di luar rumah. Namun, seiring dengan perkembangan zaman kata klitih yang awal mulanya bersifat positif menjadi negatif dikarenakan tindakan ini berkaitan dengan aktivitas yang bersifat kekerasan yang di mana para pelaku menggunakan senjata tajam sehingga peristiwa klitih sudah memakan banyak korban jiwa. Klitih belakangan ini menjadi suatu fenomena yang sangat meresahkan bagi masyarakat Yogyakarta.
Tindakan kekerasan ini terjadi di malam hari yang dilakukan secara cepat dan tidak terduga oleh pelaku yang membuat adanya rasa khawatir bagi masyarakat yang hendak keluar rumah di malam hari terkhusus masyarakat Yogyakarta. "Klitih adalah fenomena kenakalan remaja yang mengarah pada kriminalitas. Fenomena klitih ini mengatasnamakan geng sekolah atau kelompok remaja yang saling serang" (Fajri, 2022)
Istilah kata klitih mulai popular dikalangan masyarakat pada tahun 2016. Pada mula kemunculan, klitih merupakan tindakan kenalakan remaja dari perselisihan dan permusuhan antarkelompok. Seiring berjalannya waktu, klitih yang berawal mula dari kenakalan remaja menjadi fenomena yang terus mengalami pergeseran sehingga pelaku tidak hanya dari golongan remaja melainkan orang dewasa pun ikut serta.
Perkembangan media sosial yang cukup pesat membuat kasus klitih semakin cepat pula tersebar di internet dan peristiwa klitih semakin hari semakin terkuak. Namun cukup mengenaskan, korban klitih yang berasal dari permusuhan dan perselisihan antar remaja atau kelompok menjadi masyarakat yang tidak memiliki masalah apapun terhadap pelaku dapat menjadi korban klitih akibat dari keinginian pelaku untuk melakukan klitih itu sendiri, bahkan telah banyak kasus para pelaku tidak mengenali korban dan mereka hanya ingin memuaskan keinginan mereka untuk melakukan tindakan kekerasan tersebut. Senjata yang digunakan para pelaku pada umumnya berupa pedang, parang dan senjata tajam lainnya.
Penyebab klitih dapat terjadi disebabkan adanya perkumpulan remaja yang membentuk kelompok dari kesamaan hobi dan kegiatan yang dilakukan sehingga menimbulkan rasa kecocokan dan kenyamanan dikelompok tersebut. Sifat yang negatif dapat membangun hubungan pertemanan yang negatif. Pada umumnya remaja sangat mudah dipengaruhi oleh sesama yang membuat pertemanan dalam kelompok dapat menjerumus remaja untuk melakukan hal yang negatif, seperti kekerasan, tawuran, kenakalan, narkoba, pergaulan bebas dan lain-lain. Menurut penelitian "Dilihat dari aspek Hubungan antar kelompok, seorang remaja diketahui akan semakin mendapatkan nama yang bagus di lingkungan teman geng atau tongkrongan ketika ia berhasil melukai orang lain di jalan" (Fajri, 2022). Maka tak heran lagi ketika remaja berlomba-lomba untuk dapat terlihat hebat maupun menaikan namanya dengan melakukan tindakan yang negatif.
Seorang remaja terjerumus ke tindakan klitih dapat disebabkan beberapa aspek, aspek tersebut akan nampak sangat jelas dari lingkungan keluarga, pertemanan dan sosial. Para penelitian telah meneliti terkait faktor timbulnya perilaku klitih terhadap pelaku "Salah satu penyebab klitih yaitu rasa keterikatan dengan sekolah dan keluarga yang rendah" (Wulandahari, 2021). Hasil penelitian menyatakan bahwa aspek tersebut dilihat dari kondisi rumah para pelaku yang kebanyakan berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan ketidak harmonisnya suatu rumah tangga dapat menyebabkan seorang anak tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya.
Pada akhirnya, anak tersebut mencari perhatian dan rasa yang sebelumnya anak tersebut tidak dapatkan dikelompok sosialnya. Kekerasan yang timbul dalam rumah tangga dan disaksikan langsung oleh anak-anak dapat mempengaruhi psikologis seorang anak dan tidak baik dalam pertumbuhan sang anak karena membuat anak tersebut tidak dapat mengontrol emosi, serta tidak memiliki kemampuan dalam berfikir jernih akibat lingkungan dalam proses pertumbuhan tidak memberikan dampak baik bagi anak. Faktor terakhir, ketiadaan sosok yang menjadi panutan bagi sang anak yang membangun anak tidak memiliki jati diri dan tidak mengenal dirinya dengan baik sehingga sifat agresif dan tidak mampu mengontrol emosi dapat tercipta.
Peristiwa klitih yang terjadi di Yogyakarta dapat memiliki dampak yang sangat buruk dan merugikan bagi korban klitih tersebut. Banyak korban klitih yang mengalami luka fisik maupun trauma secara psikologis dan sering kali korban harus menghadapi tantangan yang besar dalam proses pemulihan mereka. Luka fisik dari serangan klitih dapat menyebabkan cedera maupun luka yang cukup serius, bahkan dapat berujung kematian. Selain itu, secara psikologis korban juga sering mengalami gangguan emosional yang serius, yakni rasa takut, stres, dan depresi akibat peristiwa yang dialami korban. Dampak yang dialami para korban akan menghambat kesejahteraan mental dan fisik korban, pastinya korban memerlukan proses pemulihan dalam jangka panjang. Selain itu, klitih juga dapat mengakibatkan konflik sosial dan kecemasan bagi masyarakat setempat, hal tersebut dapat mengganggu ketentraman dan keharmonisan antarwarga dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencegah peristiwa klitih dengan memberikan dukungan kepada korban, dan memberikan solusi yang terbaik dan konstruktif dalam menyelesaikan konflik sosial ini.
Keresahan masyarakat yang timbul dari tindakan kejahatan yang sedang marak di Yoygakarta, menuai banyak pendapat yang beragam dari masyarakat setempat. Banyak cara yang telah diberikan agar pelaku untuk tidak melakukan klitih, seperti ancaman penjara, namun ancaman tersebut tidak membuat pelaku jera dengan tindakan yang telah mereka perbuat. Seorang warga Jogja bernama Ningsih menyatakan bahwasannya "Penjara bagi anak belum cukup jika tanpa diberikan pendampingan untuk menyadarkan hakikat keberadaan manusia" (Asih, 2022). Ibu Ningsih berpendapat bahwasanya sebagian masyarakat terutama para orang tua yang cenderung cuek dan acuh terhadap perkembangan para remaja dan tidak diawasi dengan baik sehingga anak tersebut tumbuh dalam pergaulan yang salah dan peristiwa ini dapat terjadi. Kurangnya edukasi, akses internet yang cukup mudah dan pergaulan remaja yang sangat dibebaskan membuat pemahaman dari seorang anak dapat terjerumus ke tindakan kejahatan itu sendiri yang di mana usia remaja seharusnya masih dalam pengawasan orang tua. "Rusaknya sistem pendidikan yang hanya menjadikan nilai sebagai tolak ukur keberhasilan menjadikan para pelajar krisis akan identitas" (Asih, 2022).
Pada saat ini pemerintah sedang bekerja keras untuk mencari upaya-upaya dalam menurunkan tingkat klitih di Yogyakarta. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak pemerintah, namun tindakan klitih seiring hari tak kunjung selesai. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta "Sri Sultan Hamengku Buwono X meyakini hukuman pidana penjara tak akan cukup untuk menekan fenomena terjadinya kejahatan jalanan alias klitih oleh pelaku lainnya" (Indonesia, 2023). Direktur Ditreskrimsus Polda DIY, Kombes Pol. Roberto Gomgom Manorang Pasaribu mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan pembinaan dan penyuluhan secara berkala kepada pelajar SMP/SMA Yogyakarta terkait dengan kejahatan jalanan melalui bhabinkamtibmas dan para aparat melakukan razia tas bawaan pelajar untuk mencegah tindakan kriminalitas. Upaya lainnya dari pihak Polda DIY dengan membangun lebih banyak lagi kolaborasi dengan Pemda DIY untuk dapat memperbanyak CCTV di lokasi yang rawan akan terjadinya kejahatan. Jerat hukuman bagi pelaku klitih tertera dalam Pasal 351 KUHP tentang tindakkan pidana penganiayaan, Pasal 55 KUHP tentang hukuman bagi pelaku pengroyokan yang dilakukan secara sengaja maupun tidak dan Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana bagi anak berusia dibawah 18 tahun yang melakukan tindakan kekerasan hingga pembunuhan.