Lihat ke Halaman Asli

Grace Wattimena

Dosen Ilmu Komunikasi

Jebakan Ruang Simulasi dalam Dunia Hiperrealitas di Media Sosial

Diperbarui: 27 Januari 2024   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Bermain media sosial. (Sumber: freepik.com)

          Pernahkah Anda mengunjungi cafe dan resto karena ulasan pemengaruh atau influencer di Instagram? Atau pernahkah Anda membeli sebuah produk karena terpikat oleh visualisasi yang menarik di TikTok? Atau pernahkah Anda berlibur ke suatu destinasi wisata setelah menonton konten dari berbagai akun referensi travelling di media sosial? Jika ya, lalu bagaimana pengalaman yang Anda rasakan? Apakah yang Anda lihat tersebut selalu dan pasti sesuai dengan kenyataan? Faktanya, terkadang kita justru kecewa, realitas jauh dari harapan. Bahkan, muncul penyesalan dan akhirnya menjadikan pengalaman itu sebagai yang pertama dan terakhir.

          Tidak bisa dipungkiri, saat keberadaan media sosial menjadi salah satu sumber informasi dan referensi pada era digital. Di Indonesia, We Are Social pada awal tahun 2023 mendata jumlah pengguna media sosial aktif sebesar 167 juta orang (Riyanto, n.d.). Angka ini setara dengan 60,4% dari populasi masyarakat Indonesia. Lebih lanjut, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengungkapkan bahwa durasi konsumsi internet masyarakat Indonesia adalah 7 jam 42 menit, dan hampir setengah waktu tersebut, yaitu 3 jam 15 menit dihabiskan untuk bermedia sosial (Napitupulu, 2023). Dengan demikian, tidak heran jika media sosial seolah menjadi ruang serba ada dalam genggaman tangan bermodalkan internet dan telepon pintar (smartphone).

          Kenyataan dunia virtual dalam media sosial tidak selalu berbanding lurus dengan realitas sesungguhnya. Informasi yang berujung hoax, porsi makanan dan minuman yang tidak sesuai, keindahan alam dan kecantikan buatan alias hasil editing, hingga potret keluarga harmonis yang hanya pencitraan. Namun demikian, sebagian besar pengguna media sosial tetap menikmati kepuasan mengonsumsi beragam konten media sosial. Bahkan, seringkali malah menjadi creator dari konten-konten tersebut. Konten media sosial yang jauh dari dunia nyata. Kenyataan palsu ini justru dianggap sebagai sesuatu yang bernilai estetik dan sarat akan kreativitas. 

          Fenomena sosial ini menjadi lukisan nyata dari pemikiran Jean Baudrillard, seorang sosiolog dan filsuf postmodernis berkebangsaan Perancis. Berbeda dari para tokoh filsuf umumnya yang berfokus pada metafisika dan epistemologi, Filsuf kelahiran 20 Juni 1929 ini menjadikan budaya sebagai pusat pengkajian yang berbasis dari isu-isu kontemporer. Sejalan dengan semangat postmodernis, seperti Jean-Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jacques Lacan, dan Fredrick Jameson, seorang Baudrillard mengkritik realitas modernitas yang justru gagal membawa masyarakat ke era pencerahan. Modernitas dalam jebakan industrialisasi, kecanggihan teknologi, hingga digitalisasi hanya mengungkung manusia dari kebebasan menjadi manusia yang independen.

          Menurut Baudrillard, dunia postmodernis telah menghilangkan kekuasaan atas adanya batasan-batasan dan perbedaan-perbedaan penting, seperti antara kelas sosial, gender, kecenderungan politik, dan wilayah masyarakat budaya yang awalnya otonom. Alhasil, diferensiasi sebagai karakteristik masyarakat modern dalam teori sosial klasik, bagi Baudrillard berganti menjadi dediferensiasi sebagai runtuhnya (kekuatan) perbedaan, atau ledakan; "postmodern societies are characterized by dedifferentiation, the "collapse" of (the power of) distinctions, or implosion" (Baudrillard, 1985). Ledakan ini menjadi keruntuhan akan segala perbedaan antar individu, antar kelompok, sehingga esensi dari masing-masing manusia seakan hilang lenyap.

          Konsep utama dalam pemikiran kritis Baudrillard berfokus pada "simulasi", dan hiperrealitas". Kedua istilah ini termuat dalam karya Baudrillard berjudul Simulacra and Simulations (1985). Kehidupan postmodernis merupakan dunia simulasi. Dalam pandangan Baudrillard, masyarakat simulasi merupakan wujud nyata karakter identitas masyarakat kontemporer. Kehidupan masyarakat simulasi berkutat dengan kesibukan akan absurditas kode, tanda dan simbol, dan bentuk model sebagai memproduksi dan reproduksi. Proses simulasi melalui penciptaan simulakra yang mereproduksi objek dan atau peristiwa. Simulakra mengaburkan batasan dan perbedaan antara yang asli dan buatan. Simulakra merupakan simulasi yang berbeda dari realitas.

          Ruang simulasi merupakan hasil konstruksi dari model atau simulakra belaka, sehingga bukan berasal dari kenyataan. Simulakra membuat manusia tidak berpijak pada realitas sesungguhnya.  Manusia menjadi individu yang kehilangan esensi diri, karena hanyut dalam pikiran-pikiran imajiner dan delusi dalam ruang simulasi yang berlangsung. Imajinasi, pandangan tidak rasional, dan khalayan ini membuat manusia terperangkap dalam kepalsuan yang dianggap asli dan nyata. Realitas semu dari hasil kepalsuan simulasi inilah yang diterjemahkan Baudrillard sebagai hiperrealitas. Simulakra menenggelamkan realitas sesungguhnya dalam wujud sesuatu yang menarik dan indah sebagai suatu konsep yang ideal. Hiperrealitas menghadirkan realitas semu yang manipulatif, imajinatif, fantasi, halusinasi, dan bernilai kepura-puraan. 

          Bertolak dari pemikiran Baudrillard, apakah Anda mampu membedakan mana nyata dan mana yang tidak saat menikmati berbagai konten dalam media sosial? Atau Anda cenderung tidak peduli karena derasnya arus informasi yang masuk sebagai notifikasi dalam perangkat digital Anda? Dalam tatanan masyarakat digital, aktivitas kehidupan manusia di dunia nyata berjalan berdampingan dengan di dunia maya. Pada saat bersamaan, seseorang bisa berinteraksi tatap muka, dan juga saling bertukar pesan melalui berbagai aplikasi daring, atau melakukan transaksi jual-beli di platform e-commerce. Inilah gambaran masyarakat postmodernis dalam jebakan era digital yang meninabobokan kesadaran manusia. 

          Manusia terlelap dalam daya tarik konten-konten digital yang berlalu-lalang pada layar smartphone. Manusia menjadikan konten digital sebagai acuan referensi, sumber informasi utama, dan tempat mencari hiburan.  Berbekal akses internet, seseorang bisa larut dalam adiksi konten media sosial yang luar biasa dengan terus menscroll layar tanpa henti. Ini sejalan dengan pemikiran Baudrillard yang menekankan pada aspek konsumsi media. Masyarakat kapitalis lanjut dalam postmodernis diatur melalui simulasi dan permainan tanda atau imaji. Kepuasan akan konsumsi tanda dan imaji ini kemudian menciptakan spectacle society atau masyarakat penonton (Baudrillard, 1985). Adiksi menonton konten digital yang seringkali membuat seseorang lupa akan segala hal. Lupa makan, lupa beristirahat, lupa mengerjakan tugas sekolah, lupa menyelesaikan deadline pekerjaan, lupa beribadah, bahkan lupa berinteraksi dengan dunia nyata di depan mata.

          Apabila dicermati lebih kritis, bukankah sebagian besar dari konten-konten digital tersebut "memang sengaja" dibuat. Dalam pandangan Baudrillard, media sosial menjadi ruang simulasi, sehingga kesengajaan yang dibuat mengarah pada realitas semu. Artinya, konten media sosial berpotensi menciptakan hiperrealitas yang bukan berasal dari kenyataan. Bahkan netizen atau citizen of net atau warga internet atau warganet, khususnya generasi muda, cenderung memiliki lebih dari satu akun media sosial. Ada yang memiliki akun privat atau second account, atau multiple account (Kurnia, 2022; Purwaningtyas & Alicya, 2020; Tsikerdekis & Zeadally, 2014; Wattimena et al., 2022; Yamak et al., 2017). Masing-masing akun menjadi ruang simulasi yang berbeda-beda, dan disesuaikan dengan realitas yang ingin dihadirkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline