Budaya yang akan dibahas disini adalah mengenai budaya fast fashion clothing. Fast fashion ini menjadi fenomena global dimana terjadi tingginya permintaan akan jumlah produksi pakaian yang akan mempengaruhi rantai produksi, semakin masal produksi pakaian tersebut semakin membutuhkan banyak sumber daya alam dan tenaga kerja (Muazimah, 2020). Artinya budaya fast fashion ini adalah sebuah keadaan dimana memproduksi sebuah pakaian secara cepat dan dengan harga istimewa. Budaya ini juga disebut sebut sebagai budaya populer yang hingga kini masih berkembang.
Ketika seseorang menerapkan budaya fast fashion, terdapat identitas yang dibangun. Identitas yang menonjol adalah individu yang memiliki status perekonomian yang cukup tinggi, karena ia mampu mengikuti trend dari fashion. Terutama jika fashion yang mereka kenakan atau yang mereka ikuti adalah fashion import, akan semakin menunjukan bahwa ia adalah seseorang yang memiliki status ekonomi yang tinggi. Harga dari fashion tersebut pastinya tidak murah, selain itu dengan mengikuti ini dapat memunculkan identitas bahwa orang tersebut 'fashionable' karena selalu mengikuti perkembangan fashion, mengikuti model fashion yang beragam. Secara sadar maupun tidak budaya konsumerisme juga dapat dibentuk disini, seseorang akan berusaha selalu berusaha membeli fashion yang sedang trend pada saat itu secara berlebihan atau tidak sesuai kebutuhan.
Identitas juga dapat mengalami apa yang disebut politik identitas. Kita ambil contoh Anisa, mengikuti budaya fast fashion, sehingga memunculkan identitas bahwa ia seseorang dengan status perekonomian tinggi. Dengan identitas tersebut, ia dapat memiliki kuasa seperti menyarakan teman temannya untuk mengikuti perkembangan fashion, mengenai keuntungan dari mengikuti budaya ini dan lain sebaginya. Terdapat kemungkinan orang yang mendengarkannya akan percaya dan dianggap benar karena ada kuasa yang dimaninkan oleh Anisa bahwa ia seorang dengan status perekonomian tinggi, dan ia orang yang sudah mengikuti budaya fast fashion ini.
Kemudian dari adanya fast fashion ini, memicu munculnya budaya lain yaitu munculnya budaya thrifting. Budaya "thrif" atau penghematan merupakan cara membeli barang bekas layak pakai, seperti pakaian (Dewi, 2020). Budaya ini dapat dikatakan sebagai budaya subkultur karena budaya ini muncul sebagai bentuk respon dari sekelompok masyarakat terhadap kelompok dominan. Kelompok dominan yang dimaksud adalah masyarakat yang menggikuti budaya fast fashion, menghabiskan uang untuk membeli pakaian yang sedang trend, serta meningkatkan limbah lingkungan dengan mengikuti budaya tersebut.
Budaya ini secara implisit menjelaskan bahwa untuk menjadi seseorang yang fashionable tidak harus menggunakan sesuatu yang baru. Namun, bisa juga dengan fashion yang mungkin 'bekas' namun masih layak untuk digunakan. Selain itu, budaya thrifting juga menjadi respon masyarakat akibat limbah pakaian yang terus meningkat. Dilansir dari (katadata.co.id) terdapat US$500 Miliar / tahun potensi rugi dari pakaian yang jarang dipakai dan tidak terdaur ulang, menghasilkan 50 miliar plastik / tahun, serta 1 Kaos berbahan katun akan menghabiskan 2.700 liter air atau sama dengan air minum 1 orang sealam 2,5 tahun. Hal ini membuktikan bahwa budaya fast fashion selain menjadi trend juga menjadi hal yang meresahkan lingkungan.
Dengan menerapkan budaya thrifting ini dapat mengubah stigma bahwa when I wear second hand clothing, it represented people not having the money to spend on new clothing (cbc.ca, 2019). Stigma ini telah berubah seiring berkembangnya waktu ditambah lagi dengan munculnya series Tidying Up tentang "bring awareness to the importance of downising in the home, as well as are cycling responsibility as opposed to it going into landfilss". Artinya stigma mengenai mengunakan barang bekas sama saja dengan tidak memiliki uang untuk membeli barang baru, secara perlahan diubah dengan stigma bahwa kita harus melakukan pendaurulangan barang bekas tidak terkecuali pada pakaian.
Hal terakhir, budaya thrifting menjelaskan kepada masyarakat, bahwa orang tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak hanya demi belanja fashion. Namun, bisa dilakukan dengan mengeluarkan sedikit uang tetapi orang tersebut dapat memperoleh pakaian yang masih bagus, nyaman digunakan, bersih meskipun pakaian tersebut merupakan pakaian bekas pakai. Dilansir dari (Dewi, 2020) sebuah toko di Toronto, Common Sort melakukan selektif terhadap barang dangangannya antara karyawan dan ia sendiri selalu menyelaksi barang-barang bekas yang terbaik untuk dijual kembali. Hal ini semakin menjelaskan bahwa barang thrifting tidak selalu jelek, kotor tetapi juga bisa mendapatkan barang bekas dengan kualitas bagus, dengan harga yang terjangkau.
Berdasarkan penjelasan tersebut, budaya thrifting hadir sebagai bentuk kritik dari munculnya budaya fast fashion. Budaya fast fashion dinilai sebagai budaya yang tidak ramah lingungan, memicu munculnya budaya konsumerisme. Namun budaya thrifting hadir sebagai solusi untuk mengurangi limbah fashion yang ada dan memperkenalkan kepada masyarakat bahwa tidak perlu memerlukan uang banyak hanya untuk menjadi fashionable atau pribadi yang peka terhadap perkembangan fashion. Namun hanya dengan modal atau uang yang sedikit masyarakat dapat memiliki pakaian yang fashionable juga.
Daftar Pustaka:
Cbc.ca. (2019). Thrifting is losing its stigma: second hand are sustainable - and cool. Diakses pada 19 Maret 2021, dari https://www.cbc.ca/news/business/used-clothing-boom-ecofriendly-1.5356675
Dewi, R. K. (19 November 2020). Mengenal Fenomena Thrift, upaya Penghematan dengan beli pakaian bekas. Kompas.com.