Lihat ke Halaman Asli

Grace Sihotang SH MH (HSPLaw)

Advokat Dan Pengajar/ Tutor pada prodi Hukum Universitas Terbuka

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) Bukan Tindak Pidana (Tanggapan komentar Chudory Sitompul terhadap Podcast Deddy Corbuzier)

Diperbarui: 13 Mei 2022   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Instagram @ragilmahardika

Polemik tentang konten podcast Deddy Corbuzier yang mengundang Ragil Mahardika seorang gay menuai kontroversi terutama sejak Menkopohulkam Mahfud MD mengatakan bahwa belum ada aturan hukum yang melarang tentang ini berikut penyiarannya. 

Perkataan ini  kemudian tambah memacu polemik ketika ditentang oleh Chudory Sitompul seorang dosen tidak tetap Universitas Indonesia dengan dasar hukum pasal dalam UU Perkawinan.

Sebetulnya bolehkah wacana pemidanaan dan pelarangan LGBT seperti yang Bapak  Chudory Sitompul katakan? Apakah bisa Undang-Undang Perkawinan dijadikan dasar pelarangan LGBT? Hal itulah yang akan saya bahas dalam tulisan saya ini.

1. Pertama tama saya ingin menjelaskan bahwa, ciri utama hukum pidana adalah Asas Legalitas. Sebuah perbuatan hanya dapat dihukum jika ada aturan pidana yang melarangnya BUKAN ATURAN PERDATA (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli). 

Sehingga selama belum ada aturan yang melarang LGBT, maka LGBT bukan termasuk Tindak Pidana. Undang-Undang Perkawinan bukanlah Undang-Undang Pidana tetapi Undang-Undang Perdata. Salah satu ciri Undang-Undang Pidana adalah memuat ketentuan pidana dan sanksi pidana. Sehingga Undang-Undang Perkawinan seperti yang dikatakan oleh Bapak Chudory Sitompul sama sekali tidak bisa dijadikan dasar hukum 'pelarangan' LGBT.  

2. Hal kedua, sebuah Larangan merupakan ranah Hukum Pidana, karena larangan itu sendiri merupakan unsur dari Hukum  Pidana selain Perintah dan Sanksi. Unsur unsur tindak pidana itu bisa dilihat dan diuraikan dari definisi hukum pidana dari para ahli.

Banyak sekali pakar hukum pidana yang menjelaskan definisi tentang hukum pidana di dunia dan di Indonesia, namun secara keseluruhan pakar-pakar tersebut mengatakan bahwa ada tiga unsur penting hukum pidana yaitu 'perintah',  'larangan' dan 'sanksi' . Diantara pakar-pakar yang menyebutkan unsur-unsur tersebut adalah W.L.G Lemaire, Hazelwinkel Suringa, Prof Moelyatno dan Prof Simons.

Prof Simons berkata, "het geheel van varborden en geboden, aan welker overtrading door de staat of eenige andere openbare rechtsgemeenshap vor den overtreder een bijzonder leed straft verboden is van de voorschiften, doorwelke de voorwarden vor dit rechtsgevolg worden aangewezen, en van de bepalingen, krachttens welke de straf woordt opgelegd en toegepast"

Terjemahan pendapat Prof Simons ini adalah bahwa hukum pidana adalah kesemua perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam oleh suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak menaati kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemua aturan aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankannya.

Dari uraian diatas jelas dikatakan bahwa 3 unsur penting dalam hukum pidana adalah perintah (geboden), larangan (varboden) dan pidana/nestapa (straft) atau bisa disebut juga sebagai sanksi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline