Lihat ke Halaman Asli

KPK Vs Polri, Polemik "Buku Merah"

Diperbarui: 3 November 2018   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

EDITORIAL Koran TEMPO (01/10/2018) menyoroti sikap Kepolisian atas "kasus Buku Merah". Kepolisian Metro Jaya dikabarkan mulai melakukan penyidikan atas dugaan kasus pengerusakan barang bukti yang dilakukan oleh Ajun Komisaris Besar Polisi RR dan Komisaris H. Kedua perwira polisi menengah ini adalah bekas penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Adalah Temuan Indonesialeaks yang dirilis beberapa waktu lalu (detail hasil investigasi itu lihat di sini), yang cukup membuat hubungan KPK-Polri kembali menghangat. Ada dugaan bahwa petinggi Polri, TK, telah ikut menikmati uang dari pengusaha Basuki Hariman, seorang importir daging sapi, yang semuanya terdata dalam buku merah. 

Hasil investigasi ini juga menyatakan bahwa dua penyidik asal Polri tersebut pada 7 April 2017 di lantai 9 gedung KPK telah melakukan pengrusakan alat bukti. Proses perusakan barang bukti itu terekam oleh kamera pengawas CCTV. Diduga bahwa tindakan merusak alat bukti oleh kedua anggota Polri itu sebagai upaya untuk "menyelamatkan" TK dari keterlibatan.

Sesudah dirilis hasil investigasi Indonesialeaks pada 8 Oktober 2018, Kepolisian berulang kali melakukan bantahan di media. Namun, upaya itu nampaknya tidak cukup menghalau gencarnya pemberitaan yang menyudutkan pimpinan tertinggi mereka. Indonesialeaks memang muncul dan membeberkan hasil investigasinya dengan didukung penuh oleh data dan bukti. Akhirnya, pada Senin 29 Oktober 2018, Kepolisian melalui Polda Metro Jaya melakukan penyitaan atas barang bukti buku merah dari KPK untuk kepentingan penyidikan. 

Menurut Juru Bicara KPK, Febri Diansyah bahwa penyitaan tersebut berkaitan penyidikan tindak pidana dengan sengaja mencegah dan merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tak langsung penyidikan, penuntutan ataupun pemeriksaan sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa atau para saksi dalam perkara korupsi dan atau pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 KUHP seperti dimaksudkan dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi.

Terhadap langkah cepat Kepolisian, Koran Tempo menaruh curiga. Bagi Koran Tempo, sulit berharap penyidik Polda Metro Jaya bisa bekerja dengan obyektif dan profesional dalam perkara ini. Selain karena yang diperiksa adalah kolega mereka sendiri, latar belakang kasus juga menyangkut petinggi Polri. Solidaritas Korps Bhayangkara tidak akan sanggup mereka hindari; berpotensi disesaki konflik kepentingan. 

Patologi

Kecurigaan Koran Tempo adalah beralasan. Dari perspektif politik-institusional, jika ada satu hal diurusi oleh banyak institusi, maka akan melahirkan banyak patologi (masalah) dalam penanganannya. Saling bersaing secara tidak sehat akan terjadi dan arogansi akan muncul. Kita tahu bahwa dalam mengatasi masalah korupsi, selain KPK ada Kejaksaan dan Kepolisian yang terlibat. KPK adalah organisasi "pendatang" baru, jauh sesudah Kejaksaan dan Kepolisian terbentuk terlebih dahulu. 

Akibatnya, saling bersaing serta perilaku arogansi antarinstitusi kerap kali membayangi dan terlihat. Kita memiliki cerita buruk bagaimana kasus Cicak Vs Buaya I,II, dan III yang pernah terjadi (Lihat di sini). Ketika itu, ketegangan antara KPK dan Kepolisian berujung pada saling mengkriminalkan (kriminalisasi) anggota dan Komisionernya. 

Tumpang tindih kewenangan dan tidak efisien. Selama KPK ada, berbagai perjanjian (MOU) antarketiga lembaga tersebut harus dibuat dan ditandatangani (Lihat di sini). Ini untuk mengatasi saling tumpang tindihnya kewenangan masing-masing lembaga dalam menjalankan wewenang, tugas dan fungsinya. 

Perjanjian menjadi kebutuhan sebab dalam impelentasinya ketiga institusi tersebut kerap mengalami benturan. Ketika satu lembaga sudah menangani satu masalah korupsi tertentu, maka institusi lain harus berdiam diri dan tidak boleh melakukan tindakan apapun. Besarnya pembiayaan lantas menjadi konsekuensi berikutnya. Akibat banyaknya lembaga yang menangani masalah yang sejenis, anggaran dengan kepentingan yang sama harus dikeluarkan oleh negara guna membiayai institusi-institusi tersebut. Hal ini membebani pembiayaan negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline