Lihat ke Halaman Asli

"Penyucian" Kekuasaan

Diperbarui: 3 November 2015   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan Presiden 2014 (Pilres) telah lama berlalu, namun dampaknya masih terasa hingga kini. Antara lain memanasnya hubungan sosial antarmasyarakat. Ini tidak lepas dari proses “penyucian kekuasaan” yang berkembang sejak Pilpres 2014 berlangsung. Penyucian itu melahirkan pemilih berbasis pada ketertarikan karakter individual: emosional. Wajah kekuasaan politik digantikan oleh rupa serta karakter individu perorangan, yang dikonstruksi “bermoral” serta berkarakter baik. 

Segregasi antarpemilih yang berbeda masih terbawa hingga hari ini: jika bukan pendukung setia pasti pencemooh sejati. Terhadap pilihannya, "cinta mati” seakan jadi pilihan, sedangkan kepada kandidat lawan, benci seumur hidup kini menjadi jalur. Refleksi atas kedua jenis sikap ini menunjukan nalar politik masyarakat kita sangat kuat "rasa ideologinya", meskipun basisnya hanya terkait keterpilihan sosok.

Cara bernalar masyarakat kita ini juga sejalan dengan pola kerja struktur politik kita pada Pilpres lalu itu. Secara substansial, kedua kandidat, baik Prabowo maupun Jokowi, tidak dipisahkan oleh garis ideologi (aras kebijakan) yang tegas. Kalaupun menyebut perbedaan mendasar di antara mereka, maka basis referensi utamanya adalah individu, terkait dengan masalah lalu mereka masing-masing. Yang satu dicap sebagai "penjahat kenamaan" di masa orde baru, sebaliknya, yang satu lagi dikonstruksi sebagai "malaikat" lugu dari kampung.

Publik lantas berpolitik dengan gaya “penyucian” kekuasaan. Pertarungan politik dikerdilkan sekadar persaingan antara sosok dengan karakter “baik” dan “jahat”. Ketika kekuasaan politik sudah dipegang oleh “malaikat lugu”, perspektif terhadapnya terus berkembang dan terjaga.

Media ikut serta dalam melanggengkan cara bernalar politik semacam ini. Tidak jarang media memberitakan dengan judul bombastis terkait kepribadian. Proses dramatisasi oleh media serta “politik citra sebagai korban” (terzolimi), juga ikut serta di dalamnya. Publik yang berimpati atas drama sejenis ini, kemudian hanyut dalam pilihan politik. Kebencian dan kecintaan berbasis individu terus dipelihara sampai saat ini sebagai referensi dalam perbincangan dan tindakan politik. 

Perbicangkan politik berbasis penyucian ini mendominasi nalar diskusi politik warga. Kekuasaan politik lantas dilihat sebagai tempat aktualisasi karakter suci dari kandidat. Seakan-akan kekuasaan itu terkait urusan individu tersebut, baik atau jahat. Kekuasaan politik dimaknai secara sempit sebatas urusan karakter individu seorangcalon. Mereka yang terpilih diagungkan sedemikian rupa, dengan basis utamanya adalah kepribadian. Bahwa orang itu layak memangku kekuasaan politik karena dikonstruksi layak atau pantas. Kekuasaan direduksi menjadi urusan pribadi.

Selanjutnya, muka jahat dan suram dari kekuasaan untuk sementara dianggap lenyap. Karena kekuasaan sudah dipegang oleh orang bermoral, maka praktiknya bisa dijamin baik, tanpa korup, penindaasn, serta penyimpangan. Natur buruk dari kekuasaan politik ini untuk sementara disingkirkan jauh-jauh. Di tangan orang baik, kekuasaan akan bermanfaat, begitu harapannya. Pesta penyambutan atas pelantikan individu bermoral menjadi Presiden pun terjadi di mana-mana. Harapan baru segera didesain akan muncul dari sosok yang suka blusukan, berkarakter sederhana (pakaian murah), serta egaliter ini. Ujungnya pengultusan terhadap individu terjadi di mana-mana. Kritik terhadap pemerintah boleh dilakukan selama tidak menyebutkan nama sosok yang sedang berkuasa itu. Seakan antara pemerintah dan pribadi tertentu tidak ada hubungannya. Ketika keberhasilan diklaim, sosok tertentu itulah yang mendapat jempol. Sebaliknya, jika ada kurang dari pemerintah, maka sistemlah—yang berada di luar individu itu—yang layak disalahkan. Bahkan, jika perlu rezim pemerintahan sebelumnya juga ikut disalahkan. Pribadi yang terpilih tidak boleh nampak ternoda.

Pengultusan pribadi serta penyucian kekuasaan sesungguhnya berbahaya. Sikap ini mengabaikan fakta bahwa kekuasaan itu bisa nampak kejam. Kekuasaan politik itu dikelilingi, disesaki, serta didominasi oleh kepentingan kelompok: pemodal mapan dan kelompok elit politik lama. Di seputar individu yang menjabat hari ini, banyak pencari kenikmatan yang berusaha mempertahankan posisinya. Mereka berebut pengaruh untuk melindungi kepentingannya. Kewenangan legal yang melekat di tangan presiden hari ini bisa mereka “paksa” pinjam dan menggunakannya untuk kepentingannya. Kewenangan politik juga bisa didomiansi oleh mereka, yang lantas mengontrol bagaimana penggunaannya.

Di situ, karakter individu seorang pejabat tidak ada relevansinya dengan praktek kebijakan yang akan diambil. Pemegang kebijakan bisa tidak mampu berbuat apa-apa ketika kelompok “penguasa” ini menggunakan wewenang politik demi menyukseskan tujuan-tujuannya. Dalam praktik kekuasaan, yang sarat konflik dan dominasi kepentingan, individu yang menjabat bisa “melakukan atau tidak melakukan” sesuatu yang tidak disetujuinya. Kita bisa menyebut banyak contoh tentang bagaimana seorang Presiden terlihat “pasrah” atas situasi-situasi gawat yang pernah terjadi. 

Menyadari bahwa dalam diri kekuasaan itu sesungguhnya berpotensi “bermuka suram”, maka sikap tegas warga negara atas kekuasaan perlu diketengahkan. Menjaga jarak kritis dengan pemberitaan media seputar kekuasaan menjadi harus. Wacana kritik dan pembanding atas klaim-kliam kesuksesan membangun yang dilakukan oleh penguasa perlu digelorakan. Pemberitaan media atas “muka manis” kekuasaan harus dibaca dengan nalar skeptis yang dominan. Sikap oposisi atas kekuasaan ini bukan dalam rangka supaya menjatuhkan pemerintahan yang sedang berjalan.

Tetapi sikap kritis ini lahir dengan kesadaran bahwa dalam diri kekuasaan kecenderungannya adalah menyimpang, korup, serta menindas. Di sisi lain, sikap mawas harus ditampakkan, mengingat elit politik yang mengelilingi kekuasaan hari ini adalah kelompok pro status quo, cenderung anti demokrasi, serta kelompok pemodal yang rakus atas eksploitasi kekayaan alam Indonesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline