Lihat ke Halaman Asli

Jokowi Gagal & Pro Pengusaha?

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Putusan Presiden menaikan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi menyimpan seribu tanya. Publik hanya disuguhi kesimpulan bahwa harga BBM subsidi harus naik, namun tanpa penjelasan yang jujur tentang alasan-alasan kenaikan, termasuk bagaimana penghitungannya sehingga hari ini harga BBM premium RON-88—yang buruk kualitas ini—seakan nampak sama dengan harga BBM jenis Pertamax (RON-92/95).

Disayangkan, tak ubahnya dengan cara rezim lama bersikap, Presiden kita yang baru juga memilih bungkam. Pemerintah kemudian melakukan berbagi cara agar publik mau memahami keputusan tersebut. Ironisnya, meski putusan itu masih menyisihkan “celah logika” yang mengangga, ada sebagian publik yang harus berpura-pura paham, hanya karena Jokowi yang memutuskan. Padahal, mereka dulu menolak kenaikan harga BBM subsidi, tetapi kini ikut mendukung hanya karena pada Pemilu lalu kadung memilih Jokowi.

Di antara banyak alasan yang mengemuka, dua alasan yang kerap dipakai sebagai argumen oleh sang Presiden. Pertama, BBM subsidi selama ini salah sasaran, 70 persen dikonsumsi orang mampu. Kedua, ketiadaan dana (ruang fiskal) untuk membangun infrastruktur, akses kesehatan, dan fasilitas pendidikan.

Telaah atas argumen

Bahwa jika pun benar ada 70 persen subsidi BBM yang “bocor” ke orang kaya, apakah itu sama dengan bahwa tidak ada orang miskin yang ikut menikmati BBM subsidi tersebut? Tentu tidak! Jika ada orang miskin yang secara langsung maupun tidak langsung ikut menerima dan memanfaatkan BBM subsidi itu, apa yang salah sehingga subsidi terhadap mereka dikurangi? Bagaimana logikanya, sehingga akibat kesalahan penyaluran, justru subsidi yang dicabut?

Diakui atau tidak, sebagian dari BBM subsidi juga dikonsumsi oleh masyarakat miskin atau yang berhak. Menjadi tidak logis, jika karena kelalaian negara dalam menyalurkan, dan ada sebagian subsidi BBM yang kemudian disalahgunakan, tetapi justru hak rakyat miskin atas BBM lah yang diamputasi negara. Di mana rasa keadilannya?

Padahal, BBM sebagai sumber daya yang mencakup hajat hidup orang banyak adalah milik bersama yang harus dikelola negara untuk kepentingan masyarakat; dimanfaatkan secara bijak untuk kemanfaatkan publik. Di situ, hak masyarakat untuk memakai dan memanfaatkan BBM, utamanya bagi masyarakat tergolong miskin menjadi hilang atau terkurangi ketika akses terhadapnya direkayasa menjadi mahal. Yang pada akhirnya, hanya orang mampu yang akan menikmati BBM. Di sisi lain, andai alasan salah sasaran adalah benar—dan ada data penelitian teruji serta layak dipercaya—maka yang perlu dilakukan adalah melakukan pembenahan dan koreksi kebijakan untuk menjamin penyaluran BBM subsidi tepat sasaran, bukan sebaliknya: mencabut subsidi.

Sebagai yang dipercaya mengurus negara, pemerintahan di bawah “Kabinet Kerja”, seharusnya mampu menunjukan kinerja kreatif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan baru bidang energi; menjamin efisiensi produksi minyak dan tepatnya penyaluran subsidi. Jika tidak mampu bekerja untuk berinovasi dalam membuat kebijakan, mungkin kata “kerja, kerja, kerja” perlu dilengkapi dengan kata “berpikir” pada satu bagiannya. Karena kebanyakan kerja, tanpa berpikir akan kehilangan “kedalaman” berujung aktivitas (produktivitas) yang “dangkal”: tiadanya inovasi sebagai hasil berpikir.

Kalau alasannya adalah salah sasaran penyaluran subsidi BBM, maka “obatnya” adalah benahi penyalurannya, bukan justru melakukan hal yang tidak terkait sama sekali: mencabut subsidi. Gagalnya pembenahan dalam hal ini, bisa menjadi senjata bagi sebagian publik untuk berkata: Jokowi ternyata tidak mampu menjamin subsidi bagi masyarakat lemah, bagaimana mungkin dalam hal lain yang lebih besar dia akan mampu atau berani? Bagaimana menjaminnya?

Alasan berikutnya adalah terkait ketiadaan dana. Argumen ini justru membuat Jokowi kehilangan muka. Serta merta secara skeptis, Jokowi bisa dianggap sebagai pemimpin gagal sebelum bekerja. Dia juga bisa dikatakan sebagai pemimpin yang TIDAK MAMPU mencari sumber-sumber dana lain untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Padahal, dalam banyak kesempatan kampanye, Jokowi pernah berjanji tidak akan menaikan BBM subsidi, namun dengan siasat kerja keras akan mengenjot pendapatan dari sisi pajak dan dari sumber lainnya.

Jokowi juga seakan menyeret publik untuk tidak melihat kegagalan itu. Padahal, putusan menaikan harga BBM subsidi adalah cara Jokowi mendapatkan dana “segar” demi kepentingan pembangunan ini dan itu. Untuk menutupi sorotan kegagalan pemerintah tersebut, melalui beragam strategi serta bantuan beberapa media “penjilatnya”, opini dan nalar publik diseret hingga harus memilih infrastruktur atau subsidi BBM. Masyarakat dibenturkan untuk memilih jalan tol atau menikmati minyak dengan harga terjangkau.

Publik pun terjebak dalam perdebatan, sehingga lupa membicangkan kegagalan Kabinet Kerja mendapatkan dana segar. Bahkan, ada anggapan bahwa memilih subsidi BBM adalah tindakan yang tidak lebih baik (tidak bermoral) dibandingkan memilih pengalihan subsidi. Yang dilupakan mereka adalah bahwa publik itu berhak atas konsumsi BBM berkualitas dengan harga terjangkau, dan di saat yang sama publik juga berhak atas fasilitas infrastruktur yang berkualitas. Negara didirikan memang untuk itu, dan penyelenggara negara diberikan pesawat khusus, gaji besar, pengawal dan staf yang melayani, kewenangan, kekuasaan, serta beragam fasilitas mewah lainnya adalah untuk berpikir serta bekerja untuk menyediakan hak-hak publik tersebut.

Kecurigaan lain juga mengarah pada tiadanya keberpihakan Jokowi terhadap masyarakat miskin, malah lebih condong pada pengusaha atau pemilik modal. Adalah rahasia umum kalau KAD*N dan AP*NDO adalah dua organisasi kelompok dagang yang lekat dengan Jokowi. Mereka sangat getol agar Jokowi menarik subsidi BBM, dan mengalihkan ke sektor infrastruktur.

Tidak berlebihan jika kita menduga bahwa dua kelompok organisasi ini paling mendapat manfaat dari pengalihan subsidi BBM ke infrastruktur. Terhadap dampak kenaikan harga BBM pada produksi dan usahanya, mereka tinggal melakukan penyesuaian harga, yang biaya produksinya kemudian dibebankan kepada konsumen. Tetapi di bagian lain, mereka bergembira sebab kini pemerintah memiliki dana besar untuk investasi membangun infrastruktur. Betul bahwa pembangunan infrastruktur yang berhasil juga akan ikut dinikmati masyarakat luas. Namun, dalam soal kepentingan investasi, pengusaha besar juga yang paling diuntungkan. Berbagai proyek pembangunan akan dikerjakan oleh kelompok pemilik modal besar yang merupakan bagian dari KAD*N dan AP*NDO. Bukan hanya itu, fasilitas-fasilitas publik, seperti jalan tol berbayar, pelabuhan dan bandara, juga kelak akan lebih dominan dinikmati atau dimanfaatkan oleh kelompok pemodal (golongan masyarakat kaya) untuk kepentingan bisnisnya, ketimbang oleh masyarakat golongan kelas bawah.

Pada tataran bisnis minyak, pencabutan subsidi BBM juga memacu geliat pengusaha SPBU asing di luar Pertamina. Tiadanya subsidi, membuat Pertamina sebagai BUMN dipaksa menghasilkan produk yang bisa berkompetisi bebas dengan kelompok penjual BBM asing itu. Bisa diduga, kelompok bisnis mana yang akan dominan. Mereka yang unggul dalam teknologi pasti lebih diutungkan. Hari ini, BBM SPBU asing mulai laris dan diminati, dibandingkan BBM hasil produksi Pertamina.

Pengalihan subsidi dari BBM ke sektor lain juga tidak logis sebab mengandaikan bahwa kebutuhan dan konsumsi atas BBM bisa DIGANTIKAN oleh kartu sehat, jalan tol, dan kartu pintar. Jelas, kekeliruan logika ini sungguh sesat! Masyarakat membutuhkan BBM untuk kepentingannya, juga di saat yang sama memerlukan ketersediaan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Adalah tugas serta kewajiban negara untuk menyediakannya secara adil dan merata. Soal dari mana sumber dananya, adalah juga tanggung jawab negara untuk mencarinya. Masyarakat yang telah membayar pajak dan taat aturan, memiliki hak atas ketersediaan sumber daya publik serta beragam fasilitas umum layak dan berkualitas.

Naiknya harga jual BBM berkualitas rendah masih menyisahkan sejumlah tanya. Dua alasan yang kerap dipakai pemerintah tetap masih nampak sebagai lelucon yang tidak layak dijadikan pijakan. Sebelum rasa percaya publik terhadap “rezim pengusaha” ini kian meluncur deras, baiknya pemerintah baru segera bersikap transparan dan jujur tentang alasan politik dan teknis di balik kebijakan penarikan subsidi BBM ini. Karena tiadanya kejujuran di awal pemerintahan adalah “fondasi rapuh” bagi bangunan pemerintahan selama lima tahun kedepan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline