Lihat ke Halaman Asli

Bandung Ngajorowok: Ancaman Budaya di Lahan Eks Palaguna!

Diperbarui: 21 Februari 2017   02:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Isu palaguna di beberapa bulan terakhir dalam prosesi upaya untuk melegalkan lahan eks palaguna agar dijadikan sebagai bangunan komersil dengan fasilitas hotel, rumah sakit, Mall dan apartemen terus saja bergulir. Hal ini sejalan dengan upaya pengurusan adminstrasi tentang dikeluarkannya ijin IMB yang tentunya menjadi pertimbangan utama ada ditangan Tim Cagar Budaya sebagai pihak yang dijadikan kunci pertimbangan kawasan alun-alun Kota Bandung. Pertimbangannya tentu saja tidak terlepas dari dasar filosofis dibangunnya Tata Ruang Alun-Alun yang merupakan jantung atas tumbuh kembangnya kota Bandung yang kini telah meluas. 

Walaupun seiring masifnya berbagai pembangunan infrastruktur di era kekuasaan Ridwan Kamil sejak 2013 silam, tentu saja dasar filosofis dibangunnya Bandung dinilai tidak boleh diabaikan. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Mas Aji yang mewakili Bandung Haritage/Paguyuban Pelestarian Budaya dalam Kajian Khusus Palaguna GEMA Pembebasan kota Bandung, Rabu 14 Februari 2016 yakni pembangunan alun-alun tiada lain demi menjadikan Icon dan memunculkan pusat Bandung yang harus terus dilestarikan.

Dalam catatan terakhir GEMA Pembebasan Kota Bandung sejak mengikuti bergulirnya isu eks palaguna ini, setidaknya ada beberapa poin yang menjadi perhatian menyoal realitas bangunan alun-alun di Kota Bandung yang mesti dilihat dari aspek corak budaya. Selaras dengan itu pun, Tinjauan Sejarah sebagaimana disampaikan oleh Bandung Haritage, pembangunan alun-alun tidak terlepas dari dua hal yakni pertama (1) semangat ke-sunda-annya yang mesti dipertahankan untuk menyimpan “ruh” bandung. 

(2) realitas fisik bangunan era kolonial yang ini menyimpan nilai sejarah pula dan harus dipadukan dengan semangat tersebut. Atas dasar dua hal tersebut, Bandung tidak bisa dilepaskan dengan sejarah pembangunan Jalan Pos yang membentang 100 KM dari Anyer sampai panarukan. Pembangunan yang dilakukan oleh Gubernnur Jenderal H.W Daendels pada tahun 1808 yang diperuntukan untuk komunikasi antar daerah.

Sejak era Daendels, pusat-pusat pemerintahan kota mesti dipindah ke sepanjang jalan raya pos. termasuk pusat pemerintahan kabupaten bandung oleh Bupati Wiranatakusumah II dipindahkan dari Krapyak/Dayeuhkolot ke lokasi Alun-alun Bandung ditahun 1810. Pada titik ini lah permulaan Kota Bandung berkembang, itulah mengapa dari sisi permulaan Bandung diadakan, dikatakan bahwa Alun-alun sebagai Jantung bagi Kota itu sendiri yang mesti ditonjolkan dan mesti tampak dominasi ditataruang kota. Tak hanya dilihat dari sisi historis, Pertimbangan Alam pun menjadi acuan bagaimana Alun-alun ini mesti diperhatikan. 

Penetapan letak pusat kota dan alun-alun telah mengambil sungai Cikapundung dan Gunung Tangkuban Perahu sebagai acuannya. Terlebih dari Pendopo terdapat sumbu secara visual ke arah utara, Tangkuban Perahu. Tampaknya, dua hal ini perlu menjadi alat peninjau tatkala Bandung mengalami ‘trubulensi’ tataruang. Sehingga, keduanya itu setidaknya menjadi indikator dalam menahan laju pembangunan dan sebagai mekanisme yang mengabsahkan pembangunan itu sendiri.

Elemen alam yang telah dijadikan dasar pertimbangan mendudukan Bandung pada posisinya telah dipertegas dengan konsep tata ruang tradisional Jawa untuk diterapkan pada kawasan alun-Alun Bandung. Konsep tersebut adalah “Catur Gatra” yang komponennya adalah: 1. Alun-alun, yang merupakan lapangan terbuka, 2. Pendopo kabupaten, 3. Masjid Agung sebagai tempat peribadatan utama kota, 4. Pasar, sebagai pusat kegiatan ekonomi dan perjumpaan kultural penduduk. Dari konsep tersebut, dibangun berdasarkan filosofis bahwa Alun-alun adalah halaman depan Istana yang adanya adalah keraton kerajaan.

 Artinya, Alun-alun hadir sebagai bagian dari fungsi pemerintahan dengan adanya pendopo kabupaten. Walaupun ditahun 1905 poros politik Bandung berpindah dengan adanya pembangunan yang meluas kearea selatan yakni melewati rel kereta api hingga taman tegalega. Dan sejal 1867 pun patut disadari bahwa upaya penurunan “Wibawa Politik” dari keberadaan Pendopo Kabupaten sudah mulai digerus oleh pemerintah kolonial belanda.

Penggerusan sejak awalnya itu yakni dua poin yang mesti dimasukan kedalam indikator “pengadaan” kota bandung terus terjadi hingga dapat dilihat Bandung ditahun 1921. Ditahun ini, pembangunan-pembangunan telah semarak mengelilingi kawasan alun-alun yang telah diintimidasi oleh kawasan poros politik baru di Bandung. Terbukti dengan keterpisahan hubungan Alun-alun dengan sungai Cikapundung sebagaimana pada awalnya. Hal ini terus merambah hingga tahun 1930, kenampakan fisiknya dapat dilihat dengan pengembangan kota kearah utara. Pembangunan tersebut memoroskan tiga pusat yang menjadi fokus konsentrasi fungsi kota yakni pusat pemerintahan disekitar Gedung Sate, Pusat Pendidikan tinggi disekitar ITB dan Pusat Fasilitas kesehatan disekitar RS. 

Hasan Sadikin dan Bio Farma. Dengan melihat perjalanan dari pengembangan kenampakan fisik Kota Bandung, semakin menunjukan perubahan posisi dan fungsi atas alun-alun kota Bandung, apalagi ketika perluasan bangunan masjid dinilai merubah fungsi Alun-Alun tiu sendiri diawal tahun 2000-an. Perubahan posisi dapat dilihat dari pemusatan poros politik pemerintahan sedangkan perubahan fungsi tiada lain pengaruh dari posisi itu sendiri yang menempatkan alun-alun tidak lagi sebagaimana awalnya dihadirkan sebagai titik tolak perkembangan Bandung.

Menyoroti hal itu, terlihat pergeseran pusat politik bandung menemukan dasar filosofisnya yakni sebagai pemusatan ‘elemen’ tatar sunda yang bersifat kenampakan fisik sehingga menopang daya ingat warga bandung menyoal sarana fisik yang dikenalnya secara turun-temurun. Terbukti dengan konsep tata ruang Catur Gatra di kawasan alun-alun untuk diterapkan untuk dileburkan dengan pemusatan konsentrasi kegiatan masyarakat. Disinilah kiranya sarana fisik yang mengingatkan peninggalan-peninggalan leluhur mendapatkan tempat yang dominan terutama dalam menopang “daya ingat”warga Bandung dikesehariannya. Dengan perubahan sarana fisik ini yakni tata ruang yang ada, dinilai turut menurunkan intensitas daya ingat bagi warga Bandung terhadap peninggalan-peninggalan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline