Lihat ke Halaman Asli

Ke Mana Arah "Gerakan Budaya" Kota Bandung?

Diperbarui: 27 Oktober 2016   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada tanggal 11 Oktober lalu, Wali Kota Bandung RK mengatakan bahwa instrumen masyarakat mesti dibuat untuk memperkuat budaya khususnya wilayah urban (Bandung). Menurut RK, upaya memperkuat itu bukan melalui regulasi, namun pembentukan gerakan budaya. Hal demikian turut disampaikan dalam World Culture Forum (WCF) di Nusa Dua, Bali. Menurutnya, sistem yang baik adalah sesuatu yang bisa membuat masyarakat mengerjakan dan menyelesaikan masalahnya sendiri. 

Di lain hal, RK pun menjadikan Singapura sebagai acuan dalam menerangkan konsepsi penjagaan terhadap budaya itu. RK pun menegaskan pula bahwa pembangunan Kota Bandung tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi, akan tetapi budaya pun diangkat sebagaimana prioritas ekonomi sehingga RK menilai bahwa tidakan tersebut adalah dalam upaya mencapai keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. 

Tidak tanggung-tanggung, tampak pula RK mencoba untuk mengukuhkan komitmen berbudaya dan mengakui keberagaman melalui agenda yang diselenggarakan oleh komunitas Solidaritas Masyarakat Bandung bertajuk Deklarasi Bandung Untuk Bela Negara, seolah membudayakan kebudayaan tersebut berdiri di atas keberagaman.

Namun, kiranya beberapa poin yang menjadi pandangan RK sangat ambigu, dan selalu berkontradiktif terhadap tindakan-tindakan yang selama ini dilakukan oleh pemkot Bandung dalam menurunkan kebijakan-kebijakannya kepada masyarakat. Kebijakan RK yang tersentral kepada orientasi profit atau standar materil tentu saja menggeser sistem nilai budaya itu sendiri, Kota Bandung yang diidam-idamkan sebagai kota yang di mana masyarakatnya “turun tangan, gotong-royong dan saling membantu” sangat tidak relevan dengan pergeseran nilai ini. Pergeseran nilai yang kami maksud adalah menyoal orientasi materil ini dalam pembangunan kota. 

Orientasi materil yang bersandar kepada pertimbangan kemanfaatan menurut persepsi individual, dalam konteks inilah RK memiliki persepsi tersendiri sebagai pemilik otoritas. Hal ini dapat dijelaskan secara gamblang menyoal pembangunan beberapa infrastruktur kota yang jauh dari pembangunan manusia, semisal Bandung Tekno Polis, Bandung Sky Walk, LRT, Cable Car, dan proyek-proyek lainnya yang menampakkan nilai-nilai materil belaka. Inilah seolah menjadi standar atas kemajuan kota.

Jika demikian, dominasi nilai materil ini telah hinggap dan menjadi subjek pengendali. Artinya, nilai materil inilah yang menjadi patokan dalam menentukan dan mengarahkan seluruh nilai-nilai yang ada. Termasuk kebiasaan-kebiasaan yang secara turun-temurun mengakar kuat di tatar Sunda di mana kehadirannya yang telah membudaya, mengadat-istiadatkan kebiasaan itu lambat laun menjadi patokan bagi anggota-anggotanya dalam bertingkah laku dan bersikap. 

Misalnya budaya urang Sunda yang terkenal dengan 5 watak yang sering dijadikan jargon cageur, bageur, bener, singer, dan pinter yang sudah lahir sekitar jaman Salakanagara dan Tarumanagara. Dengan watak yang disebutkan demikian, kebiasaan-kebiasaan orang Sunda senantiasa sopan, kalem, Ramah dan Murah Senyum dan Gemar dalam beribadah.

Namun demikian, kebudayaan yang telah mengakar sehingga bergeser kepada ranah keyakinan leluhur nenek moyang bagi masyarakat Sunda telah kehilangan nahkoda dalam mengendalikan kebiasaan-kebiasaan dalam wujud budaya. Warga Sunda tampak kehilangan alasan untuk apa mereka senyum, untuk apa mereka bener, untuk apa mereka pinter dan lain sebagainya. Inilah ruang yang menjadi pijakan Pemkot Bandung dalam mengisi kekosongan alasan tersebut.

Namun sayangnya, Pemkot Bandung mengisi kekosongan itu dengan ketidaktahuan, dan semena-mena menurunkan kebijakan tanpa adanya filterisasi apalagi filterisasi dalam menempatkan budaya tolak ukur. Contoh riil di lapangan adalah dilibatkannya Bandung dalam pasar bebas MEA dan memajukan UMKM berbasis pada pola liberalisasi ekonomi menunjukkan budaya telah termarjinalkan sebagai pengendali namun menjadi alat yang dikendalikan. 

Dikendalikan oleh apa? Dikendalikan oleh oerientasi profit, uang! Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai festival budaya yang terus diperkukuh dan seolah menjadikan bandung semakin berbudaya, namun realitasnya mengambil keuntungan dari budaya itu. Lantas, di manakah RK menghormati budaya yang ada bila orientasi materil menjadi puncak dari segala tujuan pembangunan Kota Bandung? Ironis! 

Inilah kesalahpahaman dalam upaya melestarikan budaya. Alih-alih melindungi budaya, malah menghancurkan budaya dengan orientasi profit sebagaimana pemkot lakukan selama ini. Apalagi, kehancuran itu memang nyata adanya dengan kesewenang-wenangan swasta yang berupaya mengendalikan kota, dan Pemkot tunduk oleh swasta dan korporasi baik dalam maupun luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline