Hiruk pikuk perhelatan pemilihan kepala daerah di Jakarta yang tinggal beberapa bulan lagi, ternyata mampu menyedot animo khalayak luas, wabil khusus para netizen, baik itu yang punya kepentingan dibalik kutang maupun yang berharap ada 'sesuatu' untuk diselipkan dicelana dalam dan juga lipatan kantong celana mereka yang mulai kering kerontang.
Ga ada yang keliru atas pilihan mereka, toh resiko dan konsekuensi atas pilihannya itu, mereka sendiri yang merasakan dan menanggung akibatnya.
Yang keliru itu kalau mereka tidak mendapatkan apa-apa atas jerih payahnya.
Kan kasian, coba bayangkan (saya sih ogah mbayanginnya), mereka-mereka sudah bersusah payah menyanjung-nyanjung seseorang, melebihi batas level sanjungan yang terkesan dipaksakan (baca:menjilat).
Malam dia begadang, siang dia begadang juga, tak terhitung kuota internet dihabiskan untuk menyanjung pujaan/idolanya, padahal kuota inet yang dihambur-hamburkan itu bisa dibeliin beras untuk makan, pan lumayan tuh, perut kenyang, tidurpun bisa pules plus kekepan sama guling yang dirumah ataupun guling sewaan.
Balik lagi ke topik istrinya orang, ehhh.. topik bahasan.
Emang ini bahas apaan!?
Sorry kawan, ini cuman igauan.
Semestinya, mereka-mereka yang rela menggadaikan idealisme dan ideologinya demi tuntutan perut dan kemaluan (itu pun kalo mereka masih punya malu juga kemaluan) mesti disediakan cermin seukuran tinggi badan biar mereka sering-sering bercermin dengan membalikkan badan alias muka menghadap kedepan.