Drogba shoot...! dan tendangannya mengecoh kiper kebanggaan FC Bayern Muenchen, Manuel Neuer. Gol striker asli Pantai Gading itu sekaligus mengakhiri babak adu penalty pada gelaran final UEFA Champions League 2011/12. Chelsea berpesta, dan Bayern hanya bisa meratapi nasib mereka setelah gagal dua tahun yang lalu di Madrid setelah takluk dari Internazionale. Ironisnya, kali ini mereka harus menangis bersama fans dengan membiarkan lawan juara di tanah dan rumah sendiri. Abaikan cerita manis yang direngkuh oleh pasukan Di Matteo ataupun heroiknya Drogba hingga tangguhnya Petr Cech. Sejarah yang terulang, karena pada dasarnya Sejarah selalu terulang di setiap celah kehidupan manusia, tentu dengan aktor yang berbeda, namun memiliki pola yang relatif sama atau bahkan identik...!
Bagaimana sejarah itu terulang...? Ketika Muller mencetak gol, pikiran saya melayang pada catatan sejarah manis juara-juara edisi UCL sebelumnya, dimana hanya 14% tim juara yang membiarkan lawannya mencetak gol terlebih dahulu. Namun, saat Drogba berhasil mencetak gol, saya segera melupakan catatan itu, dan langsung meyakini jika pertandingan akan diakhiri dengan babak adu-penalty. Di babak ekstra time, Petr Cech dengan manis menghilangkan kesempatan Bayern memenangkan pertandingan dengan menggagalkan eksekusi penalti dari Arjen Robben. Pada momen itu, saya sudah sangat yakin jika Chelsea akan juara, karena titik puncak penentu dari pertandingan rasanya ada di penalti itu. Wajar rasanya jika Robben gagal melakukan tugasnya dari titik penalty, karena sebelumnya Petr Cech sendiri mengakui jika ia telah mendapatkan kelemahan dari para algojo penalti Bayern.
Permainan 120 menit yang melelahkan usai dan dilanjutkan dengan babak peruntungan, adu penalti. Disinilah bayang-bayang sejarah kembali terulang, Bayern bermain di kandang sendiri harus menghadapi babak adu penalti dengan lawannya, sama dengan apa yang terjadi di Roma pada 1984 ketika AS Roma menghadapi Liverpool di final dengan skor yang identik pula, 1-1 di masa normal. Ketika Juan Mata gagal mengeksekusi tendangan, memori saya teringat pada pemain pertama Liverpool di 1984 yang juga gagal mencetak gol penalti, identik. Jika anda melihat gol Philip Lahm, sebenarnya bola berhasil menyentuh jemari Cech, itu seperti sebuah pertanda yang baik bagi Chelsea. Akhirnya, pintu juara seperti terbuka untuk Chelsea, ketika Ivica Olic gagal mencetak gol untuk Bayern, padahal itu merupakan kesempatan bagi Bayern untuk mengakhiri babak adu penalty dengan juara, tentu dengan syarat penendang berikutnya dari Chelsea juga gagal, jika pun tidak menang 4-2, Bayern bisa menang dengan 5-3, hehe. Namun, apa mau dikata, kegagalan Ivica Olic disambut dengan tidak baik oleh Chelsea dengan eksekutor mereka yang menjalankan tugas dengan sangat baik dan berhasil mengecoh gerak Neuer. Perhatikan dengan seksama, dari seluruh tendangan penalti yang dilakukan oleh pemain Bayern, semua berhasil terbaca oleh Petr Cech...! Sebuah pembelajaran dari pengamatan video yang berhasil dari Petr Cech sebelum pertandingan dimulai, tidak sia-sia. Akhirnya, buah dari persiapan serius Cech menghadapi algojo penalti berbuah manis, ketika ia berhasil menebak arah sepakan Bastian Schweinsteiger, meskipun hanya bergerak ke arah yang sama dan gagal menepis bola, tiang gawang seakan memberikan bonus bagi Cech atas kerja kerasnya belajar dan berusaha mengagalkan penalti algojo Bayern. Kesempatan Bayern menghadirkan juara UCL setelah sempat kalah dua tahun sebelumnya seakan sirna, cerita manis 2001 setelah gagal di 1999 pun dalam bayang-bayang kegagalan. Ketika Didier Drogba maju sebagai algojo, fans Bayern berharap agar Neuer dapat melakukan hal yang sama pada Ronaldo, Kaka ataupun Ramos di babak semi final. Namun, tendangan Drogba berhasil mengecoh Neuer ke arah yang salah, fans Bayern menangis, fans Chelsea berpesta menyambut kehadiran si trofi bertelinga besar pertama sepanjang sejarah 107 tahun klub mereka berdiri, Fantastis.
Ketika mengingat Ivica Olic sebagai eksekutor yang gagal, publik Bayern dengan berkostum merah mungkin berharap pertandingan berakhir manis seperti halnya cerita CR7 saat membela Manchester United yang juga berkostum merah yang juga gagal di Moskow 08 pada babak penalti juga menghadapi Chelsea. Namun, apa daya hasil akhir berbeda, Ivica Olic yang musim depan tidak akan bermain lagi untuk Bayern hanya bisa meratapi nasib, kontras dengan hasil yang dicapai CR7 saat itu, yang musim selanjutnya juga bermain untuk Madrid.
Chelsea mejuarai UEFA Champions League pertama kalinya melalui proses yang panjang setelah gelontoran uang Roman Abramovich ikut serta sejak sembilan tahun yang lalu. Mereka menyamai wakil Inggris lainnya pada 1984, Liverpool yang juara setelah mengalahkan sang mpunya stadion, AS Roma melalui babak adu penalti setelah melalui babak waktu normal dengan skor 1-1.
Ketika Philip Lahm memutuskan mengambil tendangan penalti pertama, nampaknya ia tidak ingin seperti AS Roma yang tersungkur dikandang sendiri dengan mengambil penalti setelah Liverpool. Lahm sukses memasukkan bola ke gawang Cech, serupa saat Agostino Di Bartolomei melakukan hal yang sama bagi Roma pada 1984. Uniknya, keduanya adalah kapten tim bagi Bayern dan juga Roma. Bedanya hanya Bayern sebagai tim yang memulai penalti, sementara Roma tidak.
Ketika Juan Mata gagal mengeksekusi bola tendangan penalti ke gawang Neuer, begitu juga dengan Steve Nicoll sebagai eksekutor pertama Liverpool. Keduanya adalah legiun asing bagi Chelsea ataupun Liverpool, Mata dari Spanyol, sementara Nicoll pemain asal Skotlandia. Uniknya, umur mereka juga relatif muda, 24 tahun dan Nicoll menjelang 23 tahun.
Jika mengingat Bastian Schweinsteiger, memori teringat pada Bruno Conti yang juga gagal mengeksekusi penalti dan uniknya keduanya adalah simbol tim bagi Bayern dan juga AS Roma. Bola tendangan keduanya juga gagal ditepis kiper, namun Schwein membentur tiang gawang, sementara Conti membentur tiang pun tidak.
Chelsea mengandalkan kiper asing mereka, Petr Cech, untuk mengawal gawang dari peluit awal tanda pertandingan dimulai hingga peluit akhir pertandingan yang berarti peluit kemenangan ditiup. Begitu pula dengan Liverpool yang percaya pada legiun asing di posisi kiper, Bruce Grobbelaar. Sementara Bayern dan Roma senada, sama-sama mengandalkan kiper produk lokal, Manuel Neuer dan Franco Tancredi.
Saat menjuarai "trofi bertelinga besar" di tahun 1984, Liverpool hanya menggunakan 4 pemain asli Inggris pada starting eleven mereka, pun persis dengan yang dilakukan Chelsea dengan menggunakan 4 pemain lokal saja pada formasi awal pertandingan. Uniknya, baik Liverpool ataupun Chelsea, menggunakan 4 pemain tersebut untuk 2 posisi pertahanan, 1 posisi sentral dan 1 posisi penyerang...! Mereka juga meninggalkan 2 pemain lokal di bangku cadangan, dimana keduanya juga sama-sama tidak dimainkan, 1 posisi kiper dan 1 posisi penyerang. Identik dengan aktor yang berbeda.
Sementara sang pemilik stadion, Roma saat itu sangat percaya pada produk lokal dengan hanya menggunakan dua pemain asing di starting eleven mereka, hampir senada dengan Bayern yang juga percaya pada produk lokal, namun mereka mempercayakan 3 pemain asing dalam tim. Andaikata Badsturber tidak terkena skorsing, bisa jadi Bayern akan hanya memainkan 2 pemain asing saja, hehe.
Namun, jika Liverpool sukses meraih juara bersama Joe Fagan yang asli manajer lokal setelah menakukkan tim ibukota Italia, Roma yang saat itu dibesut oleh Nils Liedholm, bukan pelatih lokal, karena ia berasal dari Swedia. Berbalik dengan tahun 1984, Chelsea menggunakan manajer (meskipun dianggap masih carateker) asing yang asli Italia, Roberto Di Matteo, dimana ia pernah membela Lazio, yang notabene ialah musuh bubuyutan dari Roma. Sementara Bayern menggunakan pelatih asli dari Jerman, Jupp Heynckes.
Pada akhirnya, Bayern hanya bisa menjadi Treble Runner-up di musim kompetisi 2011/12. Begitu pula dengan Roma yang nyaris menjadi Treble Runner-up pula di tahun 1984 jika gagal meraih Coppa Italia. Jika Chelsea sukses meraih double winners dengan mengawinkan gelar UEFA Champions League 2012 dengan gelar FA Cup 2012 setelah menaklukkan Liverpool. Berbeda dengan Liverpool 1984 yang tidak hanya meraih trofi tertinggi di Eropa, tetapi juga Piala Liga dan Juara Liga Inggris (masih bernama Divisi I), dan itu berarti Treble Winners bagi mereka saat itu. Hasil akhir musim yang menarik keempat kontestan final di 1984 dan 2012 itu.
Adakah sejarah yang terulang lainnya... ?
atau bersediakan anda menangkat sisi menarik lainnya... ?
Dibalik menarik hingga dramatisnya suatu pertandingan sepakbola, selalu saja ada cerita menarik yang dapat diangkat. Entah itu dari sisi permainan, bintang lapangan, hingga sisi yang mungkin jarang diamati oleh mayoritas publik pecinta sepakbola, yakni ialah adanya sejarah yang terulang !
Pada dasarnya saya adalah hanya pecinta sepakbola biasa dan berusaha untuk netral, namun sebagai pendukung salah satu klub Italia dan memiliki respek terhadap salah satu klub di Inggris, seperti yang saya tulis di akun twitter saya, memaksa saya membela Chelsea untuk mengalahkan Bayern, dan harapan saya pun terkabul... hehe.
Bagaimanapun juga, sebagai penutup tulisan ini, saya hanya bisa mengatakan: Congratulation Chelsea...! You've been a part of Football History !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H