Saat ini yang piawai menenun, hanya ibu - ibu tua. Tradisi tenun ikat Kampung Adat Wolotopo, Desa Wolotopo Timur, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, dikwatirkan punah.
Pertengahan Agustus 2021 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Kampung Adat Wolotopo dan mendengar cerita ibu - ibu yang sedang menenun. (Bisa baca tulisan saya sebelumnya, Wolotopo yang Kurang Perhatian Tapi Mampu Bersaing di Event Nasional).
Paulina sudah puluhan tahun menekuni Tenun Ikat. Jerih payahnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan anak - anak.
Lebih dalam dari itu, bagi Paulina dan ibu - ibu di kampung Adat Wolotopo, piawai menenun menunjukan kematangan seorang wanita.
"Jaman dulu kalau ana nona belum tau tenun, dia belum bisa untuk menikah. Kami bangga kalau sudah bisa tenun," ujarnya.
Lantas mengapa piawai menenun ikat menjadi ukuran kematangan seorang wanita? Ine - ine (ibu - ibu) Wolotopo, punya pandangan, seorang wanita apalagi seorang ibu, mesti lembut, anggun, rajin, ulet, teliti dan sabar.
"Orangtua kami dulu, kami masih nona - nona, ajar kami tenun, memang kalau masih pertama itu susah, tapi latih terus. Mama tenun kami lihat, ikut, sampai kami bisa. Kami bangga sekali kalau sudah bisa tenun karena sudah bisa menikah" ujarnya sembari tersenyum disambut tawa ibu - ibu lain yang sedang asyik menenun di kolong rumah adat.
Hal senada disampaikan Ine Maria Bepha. Menurutnya, saat masih remaja mereka sudah dilatih menenun. "Yah saat kami umur 14 atau 15 mama mulai katih kami tenun, pulang sekolah selain bantu masak, kami latih tenun," ungkapnya.
Ine Maria sedih, saat ini anak - anak remaja di Wolotopo jarang mau sungguh - sungguh belajar menenun. Ia kwatir lima atau sepuluh tahun lagi tidak lagi orang Wolotopo yang bisa menenun.