Saudara - saudaraku bangsa Indonesia, marilah sejenak kita renungkan bagaimana para pendiri bangsa kita berpikir tentang dasar negara kita. Jika fakta saat ini tidak sesuai dengan cita - cita dan harapan para pendiri kita, maka itulah mungkin kutukan yang nyata dari kesepakatan yang kita langgar, yakni dasar negara kita, PANCASILA. Berikut ini pandangan para perumus dasar negara kita tentang dasar negara kita.
Pertama, Muhammad Yamin, 29 Mei 1945.
"Negara Indonesia haruslah disusun menurut watak peradaban Indonesia, dan jikalau hanya dengan meniru atau menyalin constitutie negara lain, maka negara tiruan yang akan dipinjamkan kepada bangsa Indonesia tentulah tidak akan hebat dan dalam sedikit waktu akan jatuh layu sebagai bunga patah di tangkai [17]."
Menurut beliau, "bangsa Indonesia yang akan bernegara merdeka itu ialah bangsa yang berperadaban luhur, dan peradabannya itu mempunyai Tuhan Yang Maha Esa [19]." Permusyawaratan menurut beliau adalah bentuk ketatan bangsa Indonesia (khusunya Islam), terhadap kitab suci Al-Quran yang tertuang dalam surah Asysyura Ayat 38 yang diantaranya berbunyi, "Segala urusan mereka dimusyawaratkan." Beliapun mengatakan bahwa, "negara yang tidak bersandar kepada permusyawaratan adalah negara yang menjauhkan ke-Tuhanan dan melanggar aturan peradaban Indonesia [20]."
Karenanya musyawarah menurut belia mengandung makna (1) religius bagi umat Islam yang berada dalam lembaga permusyawaratan, karena menjalankan perintah Quran; (2) Mempunyai makna gotong royong atau kebersamaan untuk menciptakan rasa tanggung jawab bersama sebagai bangsa yang satu dan berkepentingan satu, yang artinya kepentingan bersama sebagai sebuah negara, harus dipikul bersama serta tidak hanya membebankan kepada satu orang atau satu kelompok saja; (3) serta untuk mengecilkan atau mengesampingkan kepentingan satu orang atau sekelompok orang sehingga membuahkan keputusan yang benar bagi bangsa dan negara.
Tentang mufakat, beliau mengatakan bahwa dasar mufakat itu sudah ada sejak purbakala. Mufakat sudah ada sebelum datangnya agama Budha dan Hindu, dan "setelah agama Islam masuk ke tanah Indonesia dan berkembang dalam masyarakat desa, maka dasar mufakat hidupkembali dengan suburnya, karena dengan segera bersatu dengan firman musyawarat [20]."
Penyatuan keluhuran adat (mufakat) dan keluhuran agama (musyawarah) merupakan, "perpaduan tata negara yang sungguh istimewa dan memberi corak pada rasa ketatanegaraan Indonesia, karena dalam dasar itu tersimpan ke-Tuhanan dan kesaktian adat pusaka yang memberi cap kepada jiwa rakyat Indonesia [21]."
Sedangkan hikmah dan kebijaksanaan, "yang menjadi pemimpin rakyat Indonesia ialah rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari anarkhi, liberalisme dan semangat penjajahan [23]." Rasionalisme yang sehat berdasar pada keluhuran peradaban yang berke-Tuhanan. Tujuan dari semua itu adalah Keadilan masyarakat atau keadilan sosial. Diakhir paparan tentang dasar negara tersebut, beliaupun memberi sebuah syair yang indah, diantaranya:
"Hati yang mukmin selalu meminta
Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Supaya Negara Republik Indonesia;