Lihat ke Halaman Asli

Goris Lewoleba

Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

Teror terhadap Wiranto Versi Psikologi Politik

Diperbarui: 12 Oktober 2019   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(foto: Dokumen Polres Padeglang via Okezone)

Bagai petir di siang bolong, jagat politik Indonesia dikejutkan dengan aksi teror penusukan terhadap Jenderal (Purn) Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia.

Tindakan ini dilakukan oleh penjahat kemanusiaan, ketika Menko Polhukam Wiranto menghadiri Acara Peresmian Gedung Kuliah Bersama Universitas Mathal'ul Anwar di Kampus UNMA Banten pada hari Kamis, 10 Oktober 2019.

Disinyalir dari berbagai sumber yang kredibel, pelaku penusukan diketahui sebagai pengikut kaum radikal yang terafiliasi dengan kelompok ISIS.

Wiranto memang pernah diancam untuk dibunuh bersama beberapa tokoh penting lainya di negeri ini, seperti Kapolri Jend. Tito Karnavian, Jend (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, dan Komjen Pol. (Purn.) Gories Mere.

Ancaman itu dilakukan usai kerusuhan di Jakarta pada Tanggal 28 Mei 2019, lantaran penetapan Jokowi sebagai presiden terpilih.

Meskipun demikian, insiden penusukan Wiranto di hari Kamis kemarin menjelang Pelantikan Presiden dalam hitungan hari, merupakan hal yang patut dicermati dalam sudut pandang Psikologi Politik hari ini.

Psikologi Politik Terorisme
Menyimak kejadian penusukan Wiranto pada hari Kamis kemarin, maka muncul berbagai pertanyaan dan asumsi psikologis yang berkecamuk di benak publik, tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi menjelang hari Pelantikan Presiden.

Terkait Psikologi Politik dan Terorisme, maka dengan meminjam Komaruddin Hidayat (2005), dikatakan bahwa, ketika gagasan, ideologi dan keyakinan agama bersinergi, maka akan terjadi multiplikasi energi yang saling terkait satu sama lain.

Energi dimaksud akan mengeras dan memiliki daya rusak yang sangat kuat ketika digerakkan dengan amunisi rasa dendam dan kebencian politik yang membara.

Kecuali itu, hal dimaksud dapat pula memunculkan rasa kecewa dan frustrasi yang tidak tersalurkan dan didukung oleh kemudahan situasi politik di tanah air yang relatif permisif terhadap peluang terjadinya aksi terorisme.

Oleh karena itu, simbiosis berbagai elemen seperti tersebut di atas, akan mengental pada diri teroris yang memilih melakukan tindakan kekerasan dengan menghabisi nyawa orang lain bahkan dengan risiko kehilangan nyawanya sendiri, yang justru menjadi tujuan mulia dari tindakan jihad yang diyakininya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline