Lihat ke Halaman Asli

OdieL Palm

only a human

Wawancara = Komunikasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada pertanyaan yang harus dijawab, dan tentunya harus ada jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan . Selain itu, pelakunya ada dua orang atau lebih, di mana salah seorang atau beberapa mengajukan pertanyaan kepada seorang atau sebaliknya. Kira-kira begitulah penjelasan sederhana mengenai sebuah proses wawancara. Pada intinya, ada orang yang bertanya (penanya atau pewawancara), dan ada orang yang ditanya atau diwawancara.

Beberapa kali dalam hidup kita pasti pernah mengalami suatu kejadian atau momen yang sama seperti dijelaskan di atas. Entah itu wawancara kerja, mewawancarai orang, ataupun sekedar tanya-jawab dengan beberapa teman. Demikian halnya dengan saya, bermacam-macam wawancara pernah saya temui dan lakukan.

Di awal saya terjun ke dunia kerja, sama seperti pekerjaan lainnya yakni ada saat saya harus melalui proses wawancara dengan pimpinan perusahaan maupun orang-orang yang berkepentingan dalam hal menerima karyawan baru. Waktu itu atas rekomendasi seorang kawan, saya mendaftarkan diri di sebuah perusahaan media cetak. Saya tidak perlu bagaimana proses sebelum saya mendaftar, tapi yang saya ingin ceritakan adalah bagaimana saya diwawancara. Saya memang akhirnya dinyatakan lolos berkas, dan berhak mengikuti tes tulis dan wawancara. Ternyata proses wawancara yang harus saya hadapi jauh melenceng dari yang ada di pikiran saya. Tak hanya seorang yang mewawancarai saya, tapi sebuah tim yang berjumlah empat orang. Secara bergiliran saya mendatangi orang-orang tersebut. Meskipun ruangannya ber-AC, tapi keringat dingin sempat mengalir dari dahi saya. Beragam pertanyaan tentang kegiatan saya serta pertanyaan yang menguji pengetahuan umum saya diajukan. Puji Tuhan saya bisa melalui semua itu dengan lancar, meskipun ada beberapa jawaban yang meragukan dan saya diterima menjadi reporter.

Maka mulailah pengalaman pertama saya untuk terjun di dunia jurnalistik. Di pekerjaan yang saya geluti ini, wawancara menjadi sebuah kebutuhan. Saya senantiasa terjun ke lapangan untuk meliput suatu peristiwa atau kejadian yang menarik. Karena tanpa melakukan wawancara kepada narasumber, tentu saya tidak akan menghasilkan data yang sesuai dan akurat untuk diberitakan.

Pada awalnya memang saya agak canggung untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada orang yang sama sekali tidak dan belum saya kenal. Namun lama kelamaan saya akhirnya terbiasa, dan untuk urusan mewawancarai narasumber, saya sangat menikmatinya. Apalagi bila saya mendapatkan kesempatan mewawancara narasumber yang dengan senang hati berbagi kisah dan cerita serta tidak pelit memberi informasi. Kegiatan ini saya lalui dengan semangat dan antusias, meskipun tak jarang kejenuhan menerpa.

Dari pengalaman saya selama kurang lebih enam bulan bekerja di dunia cetak, kegiatan wawancaralah yang mendominasi. Namun ada masa saya akan mengalami gugup dan stress bila menghadapi wawancara. Ya,, saya sangat (bagaimana ya membahasakannya?) sangat tidak menikmati bila posisi wawancara tersebut ditukar, di mana di saya yang harus ditanya-tanya. Sangking tidak fokusnya, terkadang kata-kata dan jawaban yang ada di dalam pikiran saya malah jadi tidak terucapkan dan terlupakan. >>kerja lidah saya tidak sejalan dengan otak<<

Salah satu contoh di mana saya berada pada posisi yang diajukan pertanyaan adalah ketika menghadapi para penguji saat seminar proposal judul dan ujian meja. Beruntung di kedua momen tersebut saya tidak merasakan grogi ataupun ketakutan yang berlebihan sehingga akhirnya kedua ujian tersebut bias berjalan dengan lancar. (buktinya sekarang di belakang namaku sudah ada tambahan empat huruf, hehe)

Kesempatan lain saya mengalami masa diwawancarai adalah ketika mendaftarkan diri di sebuah perusahaan retail (toko buku). Di sana saya dua kali diwawancara. Yang pertama oleh dua orang wanita yang cukup memiliki jabatan tinggi di sana. Keduanya sempat bertanya tentang hobi dan keahlian yang saya miliki. Selain itu mereka juga sempat menanyakan kebiasaan buruk (bad habit) saya. Aduh, saya pun akhirnya menjawab sesuai dengan apa yang menurut (kesadaran) saya ada pada diri saya. Pada wawancara kedua saya harus berhadapan dengan pimpinan toko tersebut. Well, wawancara berjalan lancar dan santai, bahkan terbilang agak lama karena banyak pertanyaan yang diajukan dan tentunya banyak jawaban yang kemudian menjadi cerita. Pada intinya wawancara dengan pimpinan itu tidaklah se-horror yang pernah saya lihat di film-film maupun yang sempat terlintas di benak saya.

Terkadang kita memang tidak sadar bahwa proses wawancara yang bila disederhanakan dapat disebut sebagai dialog atau komunikasi menjadi salah satu partikel kehidupan. Contohnya saja ketika bertemu dengan orang baru saat memasuki lingkungan baru pasti diawali saling bertanya tentang diri masing-masing. Seperti halnya yang pernah saya alami, wawancara dengan beberapa narasumber yang low profile akan menumbuhkan keakraban. Jadinya, proses wawancara ataupun perkenalan selanjutnya akan berjalan dengan baik dan menyenangkan.

Se-introvert apapun seseorang, pastilah harus bersosialisasi. Saya pun mengakui sebagai orang yang tertutup, tapi sampai sekarang saya bersyukur karena memiliki banyak teman yang baik hati dan menyenangkan.

.bersambung.

Makassar, 11 Ferbuari '12




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline