Budaya merupakan kumpulan berbagai keyakinan, nilai dan pengharapan yang dipelajari serta disebarluaskan oleh seluruh anggota, dari satu generasi ke generasi yang lain (Wheelen & Hunger, 2010). Dalam teori the deep structure of culture, keluarga merupakan lingkup terkecil bagi budaya untuk bisa disebarkan dan tempat dimana orang mempelajari sesuatu untuk pertama kalinya. Adapun the deep structure of culture adalah sebuah asumsi dari struktur terdalam yang membuat setiap budaya itu menjadi unik dengan menjelaskan tentang bagaimana dan mengapa tindakan budaya dilakukan sehingga terkadang membuat orang lain sulit untuk memahaminya (Samovar, 2017). Oleh karena itu, keluarga merupakan kunci bagi anggota budaya dalam melihat dunia sekitar.
Keluarga memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan, antara lain fungsi reproduksi untuk berkembang biak dan melestarikan generasi, fungsi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok, fungsi sosial untuk mempelajari cara bersosialisasi, fungsi identitas sebagai penanda diri seseorang, fungsi nilai dan keagamaan sebagai penentu batas perbuatan seseorang, serta fungsi komunikasi sebagai sarana untuk memahami diri sendiri dan orang lain. Menurut Samovar (2017), keluarga dibagi menjadi dua, yaitu nuclear family atau yang biasa disebut dengan keluarga inti (ayah, ibu dan anak) serta extended family atau keluarga besar (ayah, ibu, anak, kakek dan nenek).
Keluarga memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi bersama seiring berjalannya waktu, seperti globalisasi yang mengubah nilai-nilai dari sebuah keluarga. Tantangan lain adalah konsep keluarga tradisional yang sudah mulai terancam. Keluarga tradisional adalah konsep keluarga yang sah, terdiri dari istri, suami dan anak. Namun saat ini konsep keluarga tersebut sudah mulai terancam dengan munculnya cohabitating couple atau sebuah pasangan yang hidup bersama tanpa adanya ikatan pernikahan, dan adanya gay/lesbian family atau sesama jenis yang tinggal bersama layaknya pasangan suami istri. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga diharapkan untuk menerapkan nilai-nilai keluarga yang baik, dan membentuk setiap anggota keluarganya menjadi pribadi yang siap menjalani dunia.
Hari Selasa, 13 September 2022 yang lalu, saya telah melakukan wawancara dengan kakak saya yang sudah menjadi orang tua. Ia mengatakan bahwa peran orang tua sangat penting dalam membentuk karakter seorang anak di masa mendatang. Ia berusaha untuk menciptakan suasana keluarga yang kolektivis dengan banyak meluangkan waktu untuk bersama dan melakukan tugas secara bersama, sesuai pembagian yang telah disepakati dalam keluarga. Hal itu dilakukannya sebagai koreksi dari apa yang telah diajarkan oleh orang tua kami kepada anak-anaknya. Dari ajaran sebelumnya, orang tua kami membagi tugas dalam pekerjaan rumah, namun keluarga cenderung individualis dan hanya melakukan hal sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Tanpa disadari, karena kakak saya masih tinggal bersama dengan orang tua saya, nilai kolektivis yang ia terapkan di keluarganya juga terbawa untuk satu rumah. Suasana rumah menjadi lebih hidup dan kami mulai meluangkan waktu untuk duduk dan mengobrol bersama di ruang keluarga.
Banyak hal dan nilai budaya yang didapatkan dari keluarga. Begitu pula dengan keluarga kami. Nilai kesopanan dan menghormati orang tua sangat dijunjung tinggi, salah satu contohnya adalah dengan menghindari pemanggilan "aku" "kamu" dengan orang yang lebih tua dan menggantinya dengan menggunakan "mas" atau "mba" untuk kakak dan "bapak", "ibu" untuk orang tua. Dalam wawancara, kakak saya menilai bahwa hal tersebut merupakan budaya yang baik untuk diturunkan kepada generasi selanjutnya, oleh karena itu, ia mulai mengajarkan kepada putranya tentang panggilan-panggilan tersebut sejak kecil agar terbiasa untuk bersikap sopan.
Setiap keluarga memiliki budaya dan cara hidupnya masing-masing. Bagaimana cara kita melihat dunia dan menaklukannya, semua berasal dari lingkup terkecil kita, yaitu keluarga. Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua nilai yang diajarkan sebelumnya dapat kita terapkan untuk generasi selanjutnya karena adanya proses globalisasi dan kemajuan. Oleh karena itu, ambil baiknya dan koreksi kelemahannya (Felita, 2022).
Daftar Pustaka:
Wheelen, T. L., & Hunger, J. D. (2010). Strategic management and business policy, achieving sustainability. Prentice Hall.
Samovar, L., Porter, Richard., McDaniel, Edwin R. dan Roy, Carolyn S. (2017). Communication Between Cultures. Cengage Learning.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H