Para Teolog mengklaim masa depan manusia antara di surga atau di neraka. Sementara bagi Teknolog, masa depan manusia ada di dunia maya. Para Astronout malahan meramal masa depan manusia di planet Mars. Di mana kah sebenarnya masa depan manusia?
Masa depan manusia ada di laut. Pernyataan inilah yang menggema dalam Hari Laut Sedunia-HLS atau World Oceans Day (8 Juni). Tema HLS 2017 adalah Laut kita adalah Masa depan kita, "Our Oceans, Our Future". Maka, bolehlah kita mengambil kesimpulan, masa depan kita ada di laut.
Entah karena di tempatkan dalam 'masa depan', tema tentang laut jarang dibahas. Rupanya tidak banyak ahli yang mengarahkan perhatiannya pada laut. HLS sendiri baru dicanangkan pada 1992 yang lalu oleh PBB. Delapan tahun kemudian (2000), eksplorasi tentang laut mulai digalakkan. Namun, eksplorasi ini masih menemukan jalan terjal. Berarti, laut memang sengaja dianaktirikan dari perhatian para pengambil kebijakan di bumi ini.
Tahun 2016 yang lalu, peluang untuk memerhatikan situasi laut kita ada. Sayangnya, para peserta konferensi Pemanasan Global di Paris mengutip kata 'ocean' hanya sekali saja dalam dokumen mereka. Ini berarti, perhatian terhadap laut masih minim. Hari-hari ini (5-9 Juni), di New York sedang diadakan Konferensi tentang Laut. Harapannya, muncul kebijakan baru tentang perhatian kita terhadap laut.
Laut memang sudah semestinya mendapat perhatian yang lebih. Keadaan laut saat ini amat kritis. Kebersihan alaminya diancam oleh sampah plastik. Bahkan, laut juga diancam akan rusak oleh pemanasan global. Jika bumi terus menjadi panas, ekosistem laut pun akan terganggu.
Saat ini, laut memang benar-benar diganggu oleh sampah plastik. Sampah itu sudah menggunung dan bahkan membentuk pulau. Gunungan sampah itu digambarkan juga dalam anekdot terkenal dalam bahasa Italia. Anekdot ini cukup menusuk: pulau yang tidak ada pun sebenarnya ada (Popotus 6/6/2017).
Maksudnya, ada gumpalan seperti pulau, tetapi bukan pulau. Gumpalan itu memang bisa dikatakan pulau. Tetapi, pulau itu tidak ada dalam peta geografi maupun dalam layar satelit. Itulah sebabnya gumpalan itu bukan pulau. Bukan pulau, tetapi gumpalan itu benar-benar ada.
Pulau atau gumpalan itu makin hari makin besar. Wujudnya berupa sampah plastik yang tersebar di Samudera Pasifik. Dalam bahasa Inggris ada istilah Trash vortex atau dalam bahasa Italia disebut grande macchia di spazzatura. Maksudnya, sebuah kotoran besar dari sampah. Sampah ini terletak hanya beberapa meter dari permukaan laut. Itulah sebabnya, ia tidak tampak. Dengan demikian tidak bisa dimasukkan dalam peta atau tidak terjangkau oleh radar satelit.
Gumpalan ini bukan saja besar tetapi juga luas. Para ahli mengklaim luasnya bisa seperti negara Amerika atau benua Eropa. Bayangkan, seluruh Eropa misalnya dipenuhi dengan sampah plastik. Betapa buruknya lahan seluas itu di bawah laut. Maka, sebutannya bukan lagi sebuah Pulau Plastik tetapi Benua Plastik.
Charles Moore, Miliuner yang suka memerhatikan keadaan laut menyebut Benua Plastik ini sebagai "Benua Keenam". Dia ikut menemukan hamparan luas ini pada penelitian tahun 1997 di lautan lepas antara Jepang dan California. Penemuan ini sekaligus membuka jalan bagi 'Benua Keenam' lainnya seperti di Lautan Mediterania antara Spanyol, Italia, dan Prancis.
Benua keenam ini terbentuk dari banyak jenis bahan plastik yang dibuang begitu saja di laut. Menurut ahli lingkungan hidup, setiap tahun diperkirakan 8 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut. Ada tutupan botol, botol plastik, kantong plasik, dan sebagainya (Popotus 6/6/2017). Benda-benda ini terkumpul satu sama lain karena arus laut. Kumpulan inilah yang merusak ekosistem laut. Bahkan, beberapa hewan laut yang dikonsumsi oleh manusia pun bertumbuh bersama sampah plastik ini. Di dalam tubuh mereka terdapat butiran plastik yang menyatu dengan plankton yang mereka makan di laut. Maka, otomatis kesehatan manusia juga akan rusak.