Lihat ke Halaman Asli

Gordi SX

TERVERIFIKASI

Pellegrinaggio

[Hari Perempuan Internasional] Nenek-nenek di India Semangat Belajar Baca-tulis

Diperbarui: 11 Maret 2017   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan tua-muda India bergaun Saree, pakaian adat India, FOTO: pixabay.com

Menulis bisa dibuat kapan saja dan oleh siapa saja. Tidak ada batas usia dan tidak ada batasan tingkat pendidikan. Menulis melampaui kategori seperti ini karena cakupannya amat luas. Itulah sebabnya dari anak SD sampai profesor di universitas semuanya bisa menulis.

Seorang dosen di Universitas Urbaniana di kota Roma punya kebiasaan untuk menulis 4 halaman per hari. Kalau dirata-ratakan, dalam seminggu ia menghasilkan 28 halaman. Baginya, menulis bukanlah sesuatu yang sulit. Dia sudah sering menulis dan terus menulis sampai akhir hayatnya. Menulis menjadi menu hariannya.

Selama menjadi dosen di Roma dan Milan, ia sudah menulis ribuan artikel di koran dan majalah. Selain itu, ia juga menulis puluhan buku. Dari kegiatannya ini, ia menjadi terkenal. Tetapi bukan ini yang membuatnya terkenal. Dia terkenal karena ia seorang dosen. Otomatis mahasiswanya mengingat dia sebagai bapak di kelas.

Bapak biasanya mewariskan dan menyiapkan sesuatu yang berharga bagi anak-anaknya. Dan, dosen yang biasa disapa Professor Battista Mondin (1926-2015) ini memang mewariskan sesuatu yang berharga bagi anak-anak didiknya. Dari tangannya lahir beberapa edisi Kamus Filsafat dan Teologi dari zaman klasik sampai abad XXI dalam bahasa Italia. Selain itu, dia adalah seorang Pastor sekaligus Filsuf dan Teolog yang mendalami pemikiran Santo Thomas Aquinas (1225-1274). Aquinas selain dikenal sebagai FIlsuf dan Teolog, ia juga dikenal sebagai pelindung banyak lembaga pendidikan Katolik di banyak tempat.

Karena kegemaran sekaligus ketekunannya dalam menulis, Profesor Mondin pun sering disebut Kamus Berjalan oleh para mahasiswa dan koleganya di universitas. Seorang muridnya pernah bilang, kami selalu bertanya pada Prof Mondin sebelum menerbitkan buku atau meresensi artikel tentang Aquinas. Prof Mondin selalu membarui pemikirannya, lebih-lebih yang berkaitan dengan FIlsafat dan Teologi.

Dari kebiasaan ini tampak bahwa bagi Mondin, menulis adalah sebuah kebiasaan. Kiranya kebiasaan yang tidak muncul begitu saja. Mondin—kata teman saya—sebelum menjadi dosen di Roma, dia belajar S2 dan S3 di Haward University, AS. Dari sana, bakat menulis dan membacanya berkembang. Hanya sedikit saja dari koleganya di Italia yang pada saat itu belajar di luar negeri. Mondin beruntung bisa mengenyam pendidikan ini. Dari sinilah bakat mempelajari bahasa baru-nya berkembang.

Konon—menurut seorang mantan muridnya—Mondin menguasai 7 bahasa asing lain di luar bahasa-bahasa neo-Latin. Misalnya Bahasa Rusia. Bahasa ini termasuk satu di antara beberapa yang sulit, baik dalam melafal, mengeja huruf, dan juga dari segi kerumitan tata bahasanya.

Sayang kalau generasi seusia mereka belum bisa baca dan tulis, FOTO: pixabay.com

Kebiasaan menulis sampai tua seperti Profesor Mondin ini rupanya ada juga di India. Pada perayaan Hari Perempuan kemarin, ada peristiwa menarik di kota Phangane-India bagian Barat. Sekitar 30 nenek merayakan Hari Perempuan sekaligus ulang tahun pertama untuk kegiatan belajar mereka.

Mereka memulai kegiatan belajar-mengajar sejak setahun lalu. Kegiatan pembelajaran yang menitikberatkan pada membaca dan menulis. Model kegiatan belajar yang kiranya kontras dengan usia mereka yang di atas 60-an tahun. Fakta rupanya bisa berkata lain bahkan melampaui prediksi yang biasa dipercaya. Seperti kelompok nenek ini. Mereka rupanya ingin belajar menulis dan membaca.

Mereka biasanya berkumpul di bawah pohon Mangga di wilayah mereka. Di bawahnya ada tikar sebagai alas duduk. Kegiatan belajar pun dipandu oleh sang guru yang lebih muda dari mereka. Jarak usia mereka seperti sang nenek dan cucu. Rentang yang begitu jauh namun menjadi dekat saat mereka belajar bersama.

Semangat belajar mereka amat tinggi. Mereka belajar di usia senja. Usia yang bagi generasi saat ini bukan untuk menerima lagi melainkan memberi. Tetapi, nenek-nenek ini rupanya ingin menerima dari cucu mereka. Praktisnya menerima di usia senja. Itulah sebabnya, mereka pun memulai pelajaran di sore hari, mulai jam 2 sore.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline