Hanya debulah aku
Di alas kaki-Mu Tuhan
Hauskan titik embun
Sabda penuh ampun
Ampun seribu ampun
Hapuskan dosaku
Segunung sesal ini
Kuhunjuk pada-Mu
Syair ini adalah penggalan lagu berjudul “Hanya debulah aku”. Lagu ini bernada lambat penuh sesal dan bergaya Sunda. Inilah salah satu lagu yang paling tenar—di Gereja Katolik Indonesia—selama masa puasa. Masa puasa ini akan berlangsung selama 40 hari sampai pada Pesta Paskah nanti. Tahun ini, masa Puasa atau juga disebut Prapaskah ini dimulai pada tanggal 1 Maret kemarin.
Lagu di atas menggambarkan sejarah awal manusia. Manusia berasal dari debu. Tampak seperti tidak ada apa-apanya. Nilainya hanya sebatas nilai debu. Memang, manusia tidak bernilai apa-apa terutama di bandingkan dengan Tuhan. Nilainya hanya sebatas debu. Di mata manusia, debu hanyalah sebuah wujud ringan yang mudah terbang ke sana ke mari oleh angin. Debu yang tak bernilai ini rupanya menjadi sesuatu yang bernilai di mata Tuhan. Ya, manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.
Tuhan kiranya tidak salah memilih debu menjadi sarana untuk membentuk manusia. Debu bersifat ringan sehingga mudah terbang. Manusia kadang lupa akan sifat asalinya ini. Manusia kadang menjadi berat sekali. Berat untuk membantu sesama, untuk mengambil inisiatif, untuk mengakui kesalahan sendiri, untuk berdiam sejenak sebelum berkomentar, dan berat-berat lainnya. Manusia yang berat—dengan demikian—adalah manusia yang lupa akan dirinya.