Kematian sebuah bahasa mirip dengan kematian manusia. Kadang-kadang, tidak ada yang bisa diprediksi. Seperti kematian manusia, kematian sebuah bahasa kadang-kadang menjadi misteri.
Meski menjadi misteri, kematian bahasa sebenarnya masih bisa diantisipasi. Bahasa—tidak seperti manusia—yang punya dokter khusus. Tidak juga seperti hewan yang punya tenaga medis untuk mengecek keadaannya. Bahasa ada karena manusia ada. Maka, bahasa mesti ada dan hidup sebagaimana penuturnya (manusia) hidup. Dengan cara pandang ini, kematian sebuah bahasa—meski tidak punya dokter untuk mengontrolnya—tetap bisa diantisipasi. Bahasa tidak mesti mati begitu saja.
Di Bolivia, ada sebuah bahasa yang hampir mati. Penuturnya sisa 4 orang. Yang terakhir meninggal akhir tahun lalu. Saat ini, hanya mereka berempat yang menjadi penutur bahasa langka ini. Bahasa ini disebut Bahasa Pacahuara karena lahir dan hidup di sebuah suku asli di Pacahuara, di wilayah Amazzonia, Bolivia. Keempat penutur ini sekarang tinggal di daerah Tujure, sebuah daerah adat di wilayah Pacahuara.
Dua dari penutur ini sekarang sudah tua. Keduanya (Maro e Buca)—bersama cucu mereka Bose dan shacu—hadir dalam perayaan misa requiem dari saudara mereka Baji setelah tahun baru yang lalu. Kematian Baji sekaligus menjadi alarm bagi kehidupan Bahasa Pacahuara. Saat itu, keempat penutur ini memang hadir. Mereka menjadi sebuah komunitas pengguna bahasa Pacahuara.
Daerah Tujure sendiri makin hari makin sepi. Banyak penghuni meninggalkan daerah ini. Keluarga Maro dan Buca adalah keluarga terakhir yang masih setia tinggal dan menggunakan Bahasa Pacahuara. Boleh dibilang, harta warisan kultural ini tetap ada dan hidup saat ini karena jasa mereka. Entah sampai kapan bahasa ini dipertahankan. Kehidupan bahasa ini berada dalam tangan mereka. Jika mereka semuanya tidak ada, bahasa ini juga akan lenyap. Tetapi, semoga ada anak-cucu mereka yang melanjutkan bahasa ini.
Sekitar 11 tahun lalu, dosen Bahasa Indonesia kami di kota Yogyakarta pernah menyinggung soal ini. Kata dia waktu itu, di Indonesia juga ada gejala seperti ini. Beberapa bahasa di daerah Papua—lanjutnya—akan punah seiring dengan pengurangan penuturnya. Papua sampai saat ini kaya akan bahasa daerah. Sayang, beberap dari yang banyak ini memiliki penghuni kurang dari 500 orang. Saat itu—menurut dosen kami—ada kriteria dari Unesco-PBB bahwa bahasa yang penuturnya hanya 500 orang ke bawah akan dikategorikan sebagai bahasa mati. Dengan kriteria ini—kata pak dosen—beberapa dari bahasa di Papua akan punah.
Jika kriteria ini diterapkan pada Bahasa Pacahuara, otomatis bahasa ini sudah mati. Bolehlah dibilang demikian. Dan, nyatanya kematian bahasa ini sudah diambang pintu. Memang masih menjadi misteri. Seperti misteri dari sebuah kematian dari seorang manusia.
Kematian bahasa ini ada di tangan keluarga Ibu Baji. Ibu Baji sudah meninggal, keempat keluarganya sebagai penutur utama menjadi penentu utama kehidupan bahasa ini. Keluarga almarhumah Baji termasuk kuat. Mereka adalah keluarga terakhir—boleh dibilang demikian—yang hidup di daerah Tujure.
Daerah Tujure abad ke-8 yang lalu masih dihuni oleh sekitar 50.000 orang. Saat itu, pekerjaan mereka adalah berburu di hutan, pelaut, dan petani buah. Ini adalah beberapa pekerjaan utama dari kelompok suku tua di daerah ini.
Pekerjaan ini mereka tinggalkan dan pengaruhnya mulai luntur saat tiba kebiasaan baru yakni menjadi petani karet. Daerah ini menjadi penghasil karet yang besar. Malangnya, para penduduk Tujure pun menjadi tamu di atas tanah mereka. Perusahaan multinasional dari Inggris dan Jerman datang menyerbu tanah mereka. Dalam waktu yang singkat, penduduk Tujure pun meninggalkan daerah mereka.
Perusahaan ini bukan saja ‘mengusir’ penduduk Tujure. Mereka juga menggali tanah dan membiarkannya menganga tanpa pohon, tampak tandus tak bertumbuhan, membuat petak-petak kecil untuk menghalang penduduk asli bekerja di atas lahan itu. Pemandangan ini sungguh tanpa kehidupan. Tanah yang subur dibiarkan mati. Tidak ada kehidupan di sana. Situasi ini membuat penduduk Tujure pergi meninggalkan tanah leluhur mereka. Dalam sekejap, dari abad ke-8 ke abad ke-9, penghuninya berkurang menjadi satu keluarga saja dengan 9 anggota keluarga.