Makin hari, alam kita makin rusak. Usia alam kita memang makin tua. Namun, bukan ini alasan utama kerusakannya. Alam rusak justru karena ulah manusia.
Ada kerusakan pada bagian tertentu karena faktor usia namun yang paling parah adalah kerusakan yang dibuat oleh manusia. Kebakaran, penggunaan pupuk kimia, zat-zat yang merusak lapisan ozon, pencemaran air, pembabatan hutan, dan sebagainya. Singkatnya, semua kerusakan ini membuat ekosistem tidak stabil.
Manusia saja tidak nyaman dengan alam yang terpolusi. Demikian juga hewan khususnya binatang yang hidup di hutan. Mereka terancam oleh kerakusan manusia. Mereka bukan saja diburu tetapi juga dipaksa untuk keluar dari rumah idamannya.
Manusia memang kejam. Memaksa hewan itu untuk tinggal di luar hutan. Macam-macam cara mengusirnya: membakar hutannya, merusak tanahnya, bahkan membunuh beberapa jenis binatang tertentu.
Manusia mungkin tidak sadar jika tindakan itu seperti perilaku tentara ISIS dan Boko Haram yang memaksa warga keluar dari rumah dan negaranya. Bukan saja mengusir tetapi juga menjadikan ‘budak’ yang tidak manusiawi. Jika manusia saja menderita dengan perilaku ini, demikian juga dengan hewan. Aksi gajah masuk kampung yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu hanya satu di antara sekian tanda amuknya binatang hutan itu.
Menurut beberapa ahli lingkungan hidup, jika keadaan ini tidak cepat berubah, pada tahun 2100 yang akan datang setengah dari makhluk hidup di bumi ini akan mati. Bayangkan jika kita mencapai tahun 2100 nanti. Setengah dari kita penghuni bumi ini akan hilang.
Entah manusia, hewan, binatang lainnya, dan juga tetumbuhan akan hilang. Anak cucu kita tidak akan tahu situasi sebelum mereka. Dalam hal ini, kita adalah para pembunuh sejarah kehidupan, alam, budaya, dan ekonomi.
Kita tentu tidak ingin situasi itu datang cepat. Bahkan, sebagai manusia yang tahu dan sadar akan bahaya itu, kita bisa mencari cara mengatasinya. Salah satu cara unik dan bermanfaat adalah yang dibuat oleh Joel Sartore. Sartore adalah wartawan majalah National Geographic.
Kita tentu tahu sepak terjang majalah yang mengangkat isu lingkungan hidup ini. Di Indonesia, Kelompok Kompas Gramedia mengelola majalah ini. Rupanya majalah yang lahir pada 1888 di Washington ini tersebar di berbagai negara dengan edisi yang sudah diterjemahkan.
Saya beberapa kali membacanya dalam edisi Inggris dan Italia, juga membaca edisi Indonesia ketika di Indonesia dulu. Sayang di sini tidak punya teman yang berlangganan sehingga jarang menengoknya. Kalau pas ke kampus, di sela-sela waktu istirahat sering membuka-buka halamannya.
Joel adalah fotografer dari majalah National Geographic ini. Kontribusinya berlangsung selama 20-an tahun. Pekerjaan ini ia tinggalkan sejak tahun 2006 yang lalu saat ia harus kembali ke rumah untuk merawat istrinya yang sakit beserta anak-anaknya yang kecil. Joel yang lahir di Ponca City, Oklahoma, AS pada 16 Juni 1962 ini rupanya mencintai keluarga. Dia memiliki passion yang besar untuk alam tetapi ini rupanya lebih kecil ketimbang cinta untuk istri dan anak-anaknya.