Lihat ke Halaman Asli

Gordi SX

TERVERIFIKASI

Pellegrinaggio

Dalam 3 Hari, 3 Perempuan Italia Dibunuh

Diperbarui: 11 Juni 2016   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kampanye stop kekerasan, FOTO: www.pressenza.com

Kekerasan terhadap perempuan rupanya ada di mana-mana. Di Indonesia kasus kekerasan yang marak adalah perkosaan terhadap anak dan remaja. Di Italia, lain lagi, tetapi korbannya sama yakni perempuan.

Alih-alih menunjuk negara yang secara ekonomis kurang stabil, rupanya di negara maju pun, ada kasus kekerasan terhadap perempuan. Demikian juga dalih lainnya yang sebenarnya hanya sebatas penilaian separuh. Dalih seperti ini rupanya tidak berlaku. Yang berlaku adalah di mana-mana ada kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan ini kadang-kadang berujung pada kematian seperti dalam kasus pembunuhan.

Kekerasan seperti itu juga yang terjadi di Italia akhir-akhir ini. Dalam 3 hari terakhir terjadi 3 kali pembunuhan yang menyebabkan 3 perempuan meninggal. Mulai dari 9 Juni yang lalu, Alessandra Maffezzoli dibunuh oleh eks lelaki yang tinggal bersamanya selama ini di Pastrengo, Verona, Italia Utara. Lelaki ini bukan suaminya tetapi semacam lelaki yang tinggal bersamanya tanpa ikatan pernikahan. Alessandra yang berprofesi sebagai guru dan berumur 46 tahun ini meninggalkan dua anaknya yang masih remaja.

Sehari sebelumnya terjadi pembunuhan di Pordenone, Udine, Italia Utara. Korbannya adalah Michela Baldo, 29 tahun. Dia dibunuh oleh eks tunangannya. Untuk menghilangkan jejaknya, tunangan ini juga akhirnya bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri. Pembunuhan semacam ini juga terjadi di hari yang sama di taranto, Italia Selatan. Sang suami membunuh dirinya sendiri dan anak semata wayang berumur 4 tahun setelah menghabisi nyawa sang istri, Federica De Luca, 30 tahun.

Masih banyak pembunuhan lainnya yang terjadi selama Mei dan Juni ini seperti dilaporkan koran Avvenire edisi 10 Juni 2016. Di situ juga dijelaskan bahwa ketiga korban di atas (Michela, Alessandra, dan Federica) adalah korban terakhir dari 58 perempuan Italia yang dibunuh dalam 6 bulan pertama tahun 2016. Ini berarti banyak sekali korbannya dalam 6 bulan ini. Jika dikalkulasikan berarti hampir 10 perempuan yang menjadi korban dalam setiap bulannya. Jumlah ini kiranya besar. Boleh dibilang ini ancaman serius dalam kehidupan bermasyarakat.

Pembunuhan terhadap perempuan memang bukan hal baru di Italia. Paling tidak dalam 10 tahun belakangan ini kasusnya marak sekali. Badan Pusat Statistik (Istat, Istituto Nazionale di Statistica) Italia melaporkan bahwa pada 2014 yang lalu terjadi pembunuhan terhadap perempuan sebanyak 136 dari total 468 kasus pembunuhan. Tahun 2015 agak turun sedikit menjadi 128 pembunuhan terhadap perempuan. Tetapi angka ini menjadi jauh lebih tinggi dari kasus pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 90-an yakni hanya 10 dari total kasus pembunuhan. Untuk kasus pembunuhan secara umum terjadi penurunan misalnya dari 1916 pada tahun 1991 menjadi 468 pada tahun 2014. Ini berarti kasus pembunuhan terhadap perempuan meningkat meski kasus pembunuhan secara umum menurun.

Motif pembunuhannya bermacam-macam. Ada yang karena masalah cinta. Cinta yang kadang menjadi pedang bermata dua. Cinta itu membuat pasangan hidup saling bunuh. Misalnya sang istri melihat suaminya mencintai perempuan lain. Ini kiranya klasik dan akan terus terjadi. Cinta yang berujung pada kecemburuan.

Ada juga masalah lain karena persoalan psikologis dan kekerasan fisik. Kedua hal ini juga sudah ada dari dulu sejak sekarang. Persoalannya sekarang adalah ada yang mengabaikan dua hal ini. Marina Corradi, jurnalis Avvenire dalam artikelnya pada 10 Juni kemarin mengatakan bahwa kadang-kadang sang istri atau juga suami menyepelekan masalah ini. Istri melihat ada problem psikologis pada sang suami tetapi dia menganggap itu hal biasa yang bisa sembuh di kemudian hari. Dia tidak mau menyelesaikan masalah ini. Lama-lama karena terus dibiarkan, masalahnya menjadi besar. Sang istri pun menjadi korban kekerasan dari sang suami yang bermasalah secara psikologis.

Ada juga kecenderungan lainnya—lanjut Marina—sang istri merasa tindakan kekerasan sebagai hal biasa. Sang istri tidak menganggap itu sebagai persoalan yang ada dalam diri sang suami. Sehingga, ketika terjadi pertama kali, tidak dianggap sebagai tanda bahaya. Begitu kedua dan seterusnya. Akhirnya kekerasan itu pun berujung pada pembunuhan yang sadis. Kasus pembiaran semacam ini memang mesti dihentikan sebelum pembunuhan sadis itu datang.

Sebagian besar pelaku memang adalah orang dekat. Pacar, tunangan, suami, pacar gelap, teman yang kelihatannya normal secara fisik dan psikologis, dan sebagainya. Orang-orang ini adalah mereka yang kita anggap biasa.Toh, kita bisa melihat mereka, hidup dengan mereka setiap hari, setiap saat. Kita tidak tahu bahwa di antara mereka ada yang punya persoalan. Kita jarang sekali berwaspada bahwa mereka yang dekat dengan kita ini bisa menjadi musuh kita. Mereka akan melihat kita sebagai korban yang harus dibunuh. Ini menjadi bahan permenungan bahwa tidak semua yang biasa-biasa itu tetap menjadi biasa. Ada hal biasa yang dalam seketika saja bisa menjadi luar biasa. Entah luar biasa dalam hal positif maupun luar biasa yang negatif. Hal terakhir inilah yang berbahaya sekali.

Seorang psikolog, esais, dan penulis terkenal Eugenio Borgna dalam artikel itu juga menjelasakan bahwa hal yang kita anggap normal dan biasa ini mesti diselidiki dengan baik. Katanya, seorang ibu yang mengancam anaknya, atau seorang pemuda yang mengancam pacarnya bukanlah hal normal yang bisa kita terima. Kita mesti—sambung Eugenio—melihat itu sebagai hal yang tidak normal dan perlu diselidiki. Dengan ini kiranya tanda-tanda awal seperti ini menjadi petunjuk untuk segera mencari bantuan dan tidak dibiarkan begitu saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline