Lihat ke Halaman Asli

Gordi SX

TERVERIFIKASI

Pellegrinaggio

Cinta Pertama di Bawah Pohon Cemara

Diperbarui: 31 Agustus 2015   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="salam cinta hijau"][/caption]

Dari gedung tinggi ke pohon tinggi. Dari berwarna-warni ke warna hijau.

Demikianlah gambaran pemandangan yang terlintas di mata saya dua tahun lalu. Betapa tidak, saya baru saja datang dari Jakarta. Tinggal di antara jejeran bangunan tinggi. Pemandangan yang sehari-hari nyata di depan mata. Tentu ada juga pepohonan hijau seperti di sekitar rumah kami di bilangan Jakarta Pusat. Tetapi apalah artinya pepohonan itu dibanding luasnya gedung tinggi di seluruh kota Jakarta.

Datang ke Italia, negara yang dijuluki sebagai kaya budaya dan seni. Selain seni, rupanya Italia dikenal sebagai negara hijau. Maksudnya, hampir di setiap kota selalu ada bagian hijaunya. Italia memang sangat ketat dalam menerapkan hukumnya. Salah satunya adalah mewajibkan pembangun apartemen untuk menyediakan lahan kosong sebagai ‘bagian hijau’ di sekitar pekarangan apartemen. Jika ini tidak dipenuhi, izin mendirikan sebuah apartemen tidak akan keluar. Jangan heran jika di setiap bagian dari sebuah kota, selalu ada bagian hijaunya. Entah berupa taman kota atau pekarangan apartemen.

Suatu ketika, saya pergi ke pinggiran kota Ravenna, salah satu kota seni di Italia. Menginap di salah satu rumah yang letaknya di bagian tengah hutan. Bukan hutan tanpa pemilik. Hutan yang dimaksud adalah rerimbunan pohon cemara. Pepohonan inilah yang mengelilingi rumah ini. Rumah hening ini tepat berada di tengah hutan cemara ini. Tidak banyak suara yang masuk ke rumah ini. Maka, sangat cocok jika rumah ini dipakai sebagai rumah untuk berhening. Entah berdoa atau bermeditasi. Rupanya banyak pengunjung rumah ini betah tinggal di sini. Lumayan menikmati keheningan dan hijaunya kompleks ini.

Setiap hari, saya berjalan-jalan mengitari kompleks ini. Lebih dari dua kali saya berputar-putar. Boleh dibilang, minimal 14 kali saya mengelilingi kompleks ini selama 7 hari di sana. Saya tak ingat apakah pernah 3 atau 4 kali sehari. Atau kadang-kadang 1 kali saja. Hari pertama saya mengitari semua sudutnya. Hari berikutnya, kadang-kadang berhenti lama di bawah satu pohon. Atau berhenti tepat di ujung jalan. Tidak ada mobil yang lewat karena memang tidak boleh lewat sembarang di kompleks ini. Pejalan kaki tentu saja tetapi tidak untuk mobil. Pemandagn hijau dari ujung jalan itu membuat saya betah menatapnya lama-lama. Betapa indahnya pohon cemara ini. Saya berandai-andai, kalau saja ada yang menemani, saya akan mengajak teman saya untuk duduk dan bercerita lama atau duduk bermeditasi lama-lama di sini. Kalau teman saya itu perempuan, saya mengajaknya bercinta di bawah pohon cemara ini saja. Pasti dia akan betah duduk berdua sambil bercerita di kompleks ini.

Saya yakin pemilik rumah ini betah tinggal di sini. Rasanya seperti tinggal di vila pribadi di kawasan puncak, Bogor, Jawa Barat. Letak rumah yang berada di tengah seolah-olah menunjukkan bahwa rumah itulah yang jadi pusat kompleks ini. Dari rumah inilah semua inspirasi untuk membangun dan melestarikan kompelks ini. Pemilik rumah suatu pagi berbisik pada saya, “Rumah ini bukan rumah kita. Kita menerimanya secara gratis. Pemiliknya menugaskan kita untuk melestarikan kawasan yang ada. Itulah sebabnya, kami terus merawat pepohonan ini dan menjaga keaslian kompleks ini sesuai arahan pemiliknya yang telah tiada itu.”

Saya tertegun mendengar ujaran pemilik rumah ini. Kawasan hijau seperti ini memang mesti dilestarikan. Dan, tentu banyak godaan untuk melalaikannya. Kawasan indah dan teduh ini bisa saja dirusakkan dalam sekejap mata. Cukup membuang sampah di sembarang tempat, rusaklah kawasan ini. Tidak ada lagi udara bersih karena sudah terpolusi oleh bau busuk sampah tadi. Tapi, ini tidak saya temukan di kompleks ini. Pemilik rumah justru menunjukkan pada pengunjung cara dia melestarikan kawasan ini. Salah satunya ya, bangun pagi-pagi, sambil berlari-lari, dia membawa tong sampah organiknya. Membuangnya di salah satu bagian dari rumah ini. Di sana sudah ada tempat khusus yang disediakan. Di sanalah sampah organik itu disimpan. Sampah-sampah itu akan diolah secara alamiah hingga nantinya akan jadi pupuk. Saya tidak sempat memintanya menjelaskan cara pengolahannya.

Rupanya tidak cukup sebatas mengagumi kawasan hijau tetapi mesti tahu cara membangun dan merawatnya.

Salm cinta hijau.

PRM, 31/8/2015

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline