[INTERMEZO]Senin, 13 Januari 2014 dimana Jakarta dilanda hari kejepit nasional (Harpitnas). Mau kemana saja terjebak dalam kemacetan dan genangan air dimana-mana. Bisa jadi hari ini Jakarta mimpi buruk bagi siapa saja ditengah Ibu kota tercinta.[/INTEMEZO]
1 tahun 3 bulan Jokowi memimpin Jakarta memang bukan hal yang mudah baginya dan untuk siapa saja yang mampu menata Jakarta lebih baik. Dimasa kepemimpinan Jokowi-Ahok sebenarnya sudah cukup bagus, namun banyak orang yang mengagungkan sosok mereka yang terlalu berlebihan bahkan mengumandangkan pujian untuk mereka. Seolah-olah 1 tindakan Jokowi bekerja seperti 10 kali hebohnya tampak dimana-mana.
Kali ini pemimpin Jakarta ada 2 magnet yang berbeda, Ahok dengan sikap koboinya dan Jokowi dengan sikap kalem lembutnya. 2 hal yang berbeda tersebut merupakan trend politic yang mampu menarik simpati publik dan membawa kepopuleran mereka di atas awan. Istilah yang mereka pakai adalah "Talk Less Do More" bukan berarti sedikit ngomong tetapi banyak bekerja, melainkan sekali bekerja, sedikit ngomong namun media banyak bekerja menyorotinya.
Lantas Berapakah Investasi Jokowi-Ahok Untuk Media?
Kalau saya menjawab, saya tidak tahu. Toh bukan uang dirinya juga yang keluar melainkan uang investor yang berani menjamin 2 orang besar ini memiliki garansi yang cukup kuat dalam berpolitik. Siapa pun bisa populer bagi mereka yang bisa memainkan ritme media. Sebab tulang punggung citra popularitas seseorang di Indonesia bisa diraih melalui Media massa.
Adakah Sosok yang berani melawan Jokowi melalui Media?
Bukannya tidak ada, tapi cukup banyak namun jadi angin lewat saja. Sikap melawan Jokowi di Media akan berbanding terbalik, justru akan menjadi musuh bersama bagi siapa saja yang melawannya. Kenapa demikian, tindakan yang agak bodoh apalagi mempunyai finansial kecil membayar media sama saja buang-buang duit. Meskipun 1000 aksi bertindak melawan Jokowi, hanya akan muncul 1 cetakan tidak berguna. Sebaliknya, 1 Kinerja Jokowi akan muncul ribuan aksi nyata di berbagai Media. Tetapi hanya ada satu senjata yang mampu melumpuhkan hal tersebut, yaitu "PUJIAN". Agen pencitraan melalui media sebenarnya bukanlah Jokowi yang menginginkannya, tetapi memanfaatkannya. Jikalau beliau lupa akan hal kepopulerannya, maka dampaknya berbalik pada kinerja kenyataannya. Ingat, "1 kali manusia dipuji 1000 kali akan lemah, 1 kali manusia dihina ,1000 kali ia akan bangkit berbenah".
Lalu, bagaimana menanggapi Jakarta yang masih di bawah genangan air, sedangkan Jokowi di atas Awan?
Sebenarnya kinerja Jokowi dan Ahok cukup maksimal, meskipun katanya baru 20 Persen limpahan air terserap dengan baik. Masih ada waktu panjang Jokowi memimpin Jakarta, namun jangan dijadikan dilema popularitas membuat Jokowi putus asa memimpin Jakarta lantas mencalonkan diri menjadi Presiden 2014. Sekalipun Jokowi berpasangan dengan pentul korek, Jokowi bisa jadi Presiden 2014 toh!. Namun semua itu bisa jadi bumerang untuk Jokowi, apabila kondisi Jakarta saat ini masih seperti dulu. Bila Jokowi meninggalkan Jakarta dan mencalonkan Presiden 2014, kemungkinan besar masyarakat akan menagih janji dan masyarakat akan marah kepada Jokowi.
Sebaiknya, Jokowi terus mengemban tugas dengan baik untuk Jakarta. Meskipun popularitasnya di atas awan, Jokowi tetaplah tak bisa mengatur alam. Apabila kelak Jakarta bisa diatas genangan air di masa kepemimpinannya, barulah saya katakan Jokowi "Talk Less Do More". Bukan Media yang merekayasanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H