Seorang pemuda,
Ia rebah berbantal tangan
Diatas Dipan bambu
Berhias kain kasa yang bertambal duapuluh empat,
Seorang pemuda yang duduk di bangku sekolah umum
Tanpa keahlian dan kecakapan,
Gelisah,
Di dalam kegelisahan ia memandang tata warna
Ia memandang pacarnya,
Ia memandang masa depan yang abu abu
Ia memandang perkampungan,
Ia memandang seonggok ubi
Seorang Pemuda,
Tanpa keahlian,
Akan memandang masa depan yang hambar,
Karna pendidikan formal tidak mengasah keterampilan.
Dan kita selalu di dikte oleh diktat diktat yang asing
Kita di ajarkan bagaimana mengguna,
Tanpa di ajarkan bagaimana merumuskan,
Kita di ajarkan bagaimana cara memakai,
Tanpa di ajarkan bagaimana memproduksi.
Pemuda anak anak kita,
Memandang sawah yang permai,
Sebuah warisan,
Kelak di olah tanpa ilmu dan pengetahuan,
Pemuda, anak anak kita..
Tidak berdaya
Bagaimana memagic ubi jadi produksi yang unggul.
Bagaimana...?
Anak anak kita,
Memandang tanah negeri yang subur ini
Apakah kelak jadi jongos di tanahnya sendiri ?
Anak anak kita, adalah pemuda,
Pengangguran.
Anak anak kita hanya di siapkan sebagai buruh,
Tanpa formalitas hukum yang mengikat.
Anak anak kita,
Pemuda yang masih gelap ke depannya
Merayap mencari pegangan,
Karna pendidikan formal ibarat jual beli,
Dan dewi pendidikan duduk bersilang kaki
Lalu kita menghamba,
Pemuda,
Lulusan sekolah menengah umum,
Bergelantungan di ketiak jalan
Gardu ibarat ibu,
Tempat mencurahkan sendu dan bimbang,
Anak anak kita, jadi pemuda modern
Tanpa bekal keahlian untuk berkarya,
Dalam bimbang,
Mereka melihat keadaan, lalu masa bodoh
Pemuda, anak kita
Generasi penerus bapak bapak kita.
Surabaya, 12 Agustus 2023
Rasull Abidin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H