Lihat ke Halaman Asli

Taufan S. Chandranegara

TERVERIFIKASI

Gong Semangat

Membaca Fatamorgana

Diperbarui: 24 Desember 2024   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photography Kompas.com

Catatan sederhana kebudayaan, seni dan politik.

Abstrak amat ya kalimat tebal di atas itu. Apa coba maksudnya.; Abstraksi. Ya. Karena hidup niskala tujuan, kadang tak sesuai angan, ide tak serupa realitas, kadang-kadang.

Hujan ya hujan, bukan melulu penyebab banjir. Kalaupun banjir terjadi di sebuah kota metropolitan, karena salah sendiri, semisal, buang sampah tak pada tempatnya, barang-barang serupa plastik lunak atau perangkat keras mengapung di sungai hingga muara ke lautan. Salah siapa. Manusia. Kenapa? Ada deh. Ehem.

Barang bekas kok di buang kesungai, secara politis maupun seni budaya ataupun politik kebudayaan jelas dong bikin susah lingkungan. Jangan ya. Kalau terjadi banjir, dengan mudah menyalahkan entah kewenangan siapa? Wow! Ya salah kewenangan manusia penghuninya. So why gituloh, buang sampah tanpa pertimbangan budi pekerti diri sendiri.

Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, telah memberi keteledanan, itu sebabnya pula, berani berhadapan dengan kolonialisme, melalui pendidikan Taman Siswa, sila berselancar di dunia maya, dibaca ulang dengan saksama sejarah itu. Banyak manfaat iman sederhana kiprah kebangsaan, aktual hingga kini.

Sebuah pelajaran terpenting, negara wajib hadir di dunia pendidikan di garis terdepan. Tanpa pamrih, agar siswa pelajaran dasar, menengah hingga mahasiswa, apabila tak mampu mengikuti jenjang pendidikan lanjutan, akibat, pendidikan berbasis biaya mahal. Tak perlu menunggu lama. Negara, hadir saja, berikan bantuan pendidikan hingga kuota suwastanisasi edukasi bagi adik-adik pelajar, mahasiswa, dimanapun berada. Sebagaimana tertulis, maklumat undang-undang dasar negara. Keutamaan kesetaraan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia, kurang lebih demikian singkatnya.

Keriuhan demokrasi modern, seyogianya, setara dengan budi pekerti, oleh banyak pihak kaum pintar disebut 'Pembangunan Nasional' keren kan. Itu sebabnya pula, edukasi pendidikan termasuk fasilitasnya, baik fisik maupun nonfisik, sebaiknya percepatan lebih cepat, sejalan dengan kecepatan teknologi tepat guna kini, serba canggih konon. Utamakan wilayah perbatasan, titik terjauh dari ranah keriuhan demokrasi modern, termasuk kelas pemerataan peringkat ekonominya.

Jangan lupa, pada pembangunan politik pendidikan, pendidikan politik, dalam ranah keilmuan kebudayaan, demikian pula sebaliknya. Tak perlu tolok ukur atau survey hingga benua jauh berbasis biaya mahal pula, mengenai telaah pendidikan secara umum.
Kembali saja pada kesederhanaan pemikiran sejarah dasar pendidikan negeri sendiri. Banyak sejarah pemikiran sahih para sastrawan, budayawan, cendikiawan, ilmuwan, agamawan Indonesia.

Itupun kalau mau bermula dari kekuatan pemikiran anak negeri sendiri-Nasionalisme Sejati, sebagaimana telah tertuang hingga menjadi Indonesia Merdeka, atas kehendak Rakyat Indonesia, di plokamirkan Soekarno-Hatta, tokoh terkemuka milik NKRI, bukan milik golongan manapun.

Indonesia, ya  Nusantara, demikian pula sebaliknya. Hanya ada di wilayah kini, tidak ada di tempat lain dimanapun, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Hebat kan. Keren dong. Bangga dong, sebagai Putra Putri Indonesia. Itu sebabnya pula kewajiban negara, selaraskan pendidikan hingga seantero negeri, percepat lagi, secepat-cepatnya. Kewajiban negara terkandung di dalamnya. Wajib loh. Lantas ketika kata, seni-tersebut. Maka konotasi hanya seputar wilayah seni sempit. Tidak demikian loh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline