Perkaranya sejak zaman perang Kurusetra, konon berawal mula menyoal hakikat hak jujur versus hak ingkar, tak hanya ingkar janji cinta kale ya. Soal ingkar janji termasuk jurnal materialisme logika, simbolis bimsalabim seolah-olah es cendol, padahal es cincau. Soal kejujuran bergantung bajunya beli di toko atau obralan hampir mirip tapi agak beda dengan lukisan abstrak kasat netra versus realisme simbolik. Penonton mungkin bingung, mungkin bertanya tapi di dalam hati saja, nah.
Kalau ada kisah larangan memutar cerita horor, misalnya, maka akan muncul cerita cinta semanis madu hutan bisa juga madu rumahan. Maka lompatan news today ini itu, terbitnya itu tapi ini. Loh! kok bisa. Padahal harga swalayan tak bisa ditawar panjang kali lebar atau sebaliknya. Hihihi, itu kan kalau adu boksen, ini soal logika sehat, bukan adu panco di arena. Salah omong keroyokan, salah belok nyasar ke laut. Jadi dilarang salah, tapi sulit memberi maaf, enggak boleh loh.
Ke neraka tidak bisa ditawar jadi ke surga. Ke surga bisa belok ke neraka kalau oknumnya geblek kuy. Balik lagi menyoal tawar menawar, mau ditawar versi posmo atau alternatif rock, kalau mungkin versi hip.hop. Wah sulit membedakan penggayaan terkini dengan laskar lawas, mirip tapi beda. Bisa tawar menawar di pasar, tergantung berat kantong kreseknya, musiman atau takdir habitatnya. Cinta sejati atau palsu. Nah itu dia. Jangan dibolak balik, ranah fakta akan bias.
Kaget boleh tapi jangan pura-pura loh cuy. Tahu sama tahu, bukan tahu plus tempe harigini masih pura-pura kagak tahu, padahal serupa orek tempe. Sssst! Ngobrolnya bisik-bisik aja. Ngakak boleh, tapi jangan keterlaluan. Kalau tak ada back up amunisi bisa konyol-jadi badut. Hah! Enggak usah pura-pura kaget deh. You know me and I know you. Ssst! Bisik-bisik aja.
Berjuta jendela beterbangan seolah-olah menembus waktu melihat surga masa depan. Tak mudah menentukan jendela satu dengan lainnya, persis presisi sekalipun lukisan tiruan dari rekayasa karya asli. Salah masuk jendela kemungkinan bisa fatal atau sebaliknya. Logika belum tentu serupa benar di sebaliknya canvas, bisa jadi akal-akalan tergantung akal bulus itupun kalau berani jujur bak langit pemberi atap kehidupan.
Kalau secara acak menentukan ini atau itu-semirip kehilangan akal meski agak beda meskipun lalu ke kini beda tipis, sekalipun gosokan batu akiknya serupa kinclong, tapi tetap terlihat batu purba loh. Menentukan dengan cara memejamkan mata, alamak, lebih terlihat badak dari pada semut. Wow! Ogah. Tak pernah terpikir jadi begogkan. Bikin asap tanpa api cara mudah ketujuan. Enggak punya malu tinggal beli di obralan, setelahnya ngeloyor cuci muka, lupa pada janji.
Ada maunya minta doa, setelah kenyang lupa amal, pagimane bisa begitu gaiss. Menyoal satu jendela bukan soal mudah loh masalahnya ada pada cara pandang jernih agar mampu menemukan cara pindah kelain waktu. Apa akalnya ya. Enggak boleh nyerah enggak boleh akal-akalan; you can do it, just do it. Jujur itu mata air asli. Okelah.
***
Jakarta Kompasiana, Agustus 01, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H