Warna tak berbanding kosmos jiwa. Kekejaman seperti memasak balado teri pedas. Tak lengkap kalau sekaligus tak memakannya. Cinta, biangkeladi kerumunan menyemut. Tak ada pilihan. "Water Cannon!" Blam! Tak ada pilihan sebelum korban jatuh lebih banyak. Peluru karet beterbangan. Pilihan sulit keselamatan meski mata nanar ancaman hak asasi manusia mengintip kesempatan.
Berjibaku menyelamatkan siapapun bisa diselamatkan. Tembang mati sunyi bertiup seruling mistis pencabut nyawa. Tak mampu lagi bianglala senja memilih benar atau salah. Keselamatan, kemanusiaan, apapun caranya, bersegera. Evakuasi, sirene memanggil siapapun untuk penyelamatan. Entah ini bencana atau bukan, tak penting lagi. Hanya ada satu komitmen, keselamatan publik menjadi jalan utama.
Petugas keamanan, senantiasa dihadapkan pada situasi sulit ketika kekacauan massal meledak marah. Evakuasi cepat pilihan utama, meski korban akibat peristiwa itu berjatuhan. Himne gugur bunga mengangkasa. Doa keselamatan dalam diri untuk sesama berkumandang di benak semesta jiwa. Gaib alam raya meretas atmosfer, kata nurani otomatis menjaring jiwa-jiwa terpilih sebagaimana kehendak-Nya.
Badai kekacauan mereda perlahan-lahan, dingin membeku meggusur degradasi moral. Waktu perubahan tiba semena-mena. Ya Alkhalik, memohon ampunan-Mu.
**
Tak satupun mengerti ketika itu. Peradaban memilih kisahnya. Katastrofe, memalingkan wajah pada arah mata angin berbeda, pada sisi lain benua, entah di ruang waktu mana akan tampil kembali, menggelar kekejaman. Teror, kepandiran manipulatif 'kan melindas siapapun, tanpa kecuali. Kemanusiaan tak mampu bergeming, sekalipun protes tak mampu lagi berkoar-koar.
Lidah mati mulut terkatup pada wajah-wajah simpang siur. Apa, siapa mereka, belum dapat dipastikan. Apakah, akibat virus kekacauan, dugaan, investigasi berjalan, orang-orang seperti berpikir lamban. Tubuh tak bertulang otak hilang, keracunan tekno impian mereka sendiri, hitungan analog tak mampu lagi dilakukan, bergatung pada digit kapital tekno asosiatif. Ancaman kepandiran, mungkin bakal menjadi pandemi daur ulang.
Benarkah. Kalau hal itu terjadi kemana melangkah, belum bisa dipastikan. Celaka betul, kendali diri tak boleh masuk ranah irasional. Peran logika tak boleh berjalan sendiri tanpa kontrol kepekaan intuisi. Apa jadinya makhluk hidup sekalas manusia? Apakah bakal jadi zombie, makhluk fosil, monster bakal menyerang siapapun. Tak bisa dibiarkan. Kemana upaya pikiran mencari akal sehat.
Tak boleh tinggal diam, tapi kepada siapa mencari hal ihwal. Teman, sahabat, orang terdekat kemana mereka, seperti sirna ditelan bumi. Gedung-gedung pencakar langit dingin, raksasa kemodernan membeku, momok zaman siap menerkam siapapun. Bisa berubah menjadi makhluk logam terminator. Derap langkahnya menginjak-injak apapun. Ya Alkhalik ... Apakah ini kehancuran sebagaimana, Engkau, janjikan?
Belumkan. Bukan peristiwa ini kan? Bukan dalam bentuk sesederhana ini kan? Juruselamat akhir dunia belum muncul, sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitab suci-Mu. Peristiwa ini bukan pula sebuah permulaan kan? Benarkah? Atau ini sebuah permulaan dari kehancuran peradaban. Belumkan? Bukankan? Bukan lewat peristiwa kekacauan sederhana ini kan? Iyakan?