Lihat ke Halaman Asli

Jodoh 2014

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13966580041703829067

Seorang kawan mengabari akan menikah dan entah mengapa kemudian meminta pendapat saya. Tentu saya jadi teringat pernikahan saya sendiri dan tiba-tiba saya teringat pula satu kabar tentang para penghuni surga yang kelak di tengah kebahagiaan yang melimpah ruah masih memendam perasaan menyesal. "Kalau tahu begini rasanya surga, mestinya dulu aku habiskan hidupku di dunia full untuk beribadah!" begitu kira-kira sesal mereka. Dalam 10 tahunan pernikahan saya yang berbahagia, belakangan ini muncul segumpal rasa sesal yang langsung saya pendam dalam-dalam. Basa-basi kawan saya itu seperti menantang saya untuk membongkarnya dan dengan jantan menghadapinya.

Dengan segala suka dukanya, pernikahan ini semakin mempertegas goresan keyakinan saya bahwa setiap tindakan kita bernilai doa dan kita harus sangat berhati-hati karenanya. Bila kita malas bangun pagi, misalnya, sama saja kita berdoa, "Tolong enyahkan rezeki hari ini jauh-jauh dariku. Aamiiin!" Gawatnya, doa tindakan itu secara ampuh mementahkan setiap doa basa-basi hasil akrobat lidah dan mulut kita.

Alur logika seperti itulah yang telah saya gunakan untuk mengurai "misteri" bagaimana saya di sini bisa bertemu dia di sana di saat itu dan dengan situasi dan kondisi seperti itu yang akhirnya berakhir begini. Semua karena tindakan-tindakan saya mengarah ke sana. Saya tidak terlalu heran bila belakangan saya tahu istri saya pun punya pola tindakan serupa dengan saya.

Jodoh? Bila itu tentang garis nasib, saya yakin kita punya banyak sekali persimpangan garis dan ternyata saya memilih belokan garis yang itu. Pada setiap belokan akan membawa risikonya sendiri-sendiri. Sesal saya, mestinya saya bisa mendapatkan yang lebih baik dari ini bila saja dulu saya memiliki modal doa yang lebih baik. Hidup adalah pilihan dan saya telah ceroboh memilih.

Tapi saya kesulitan membahasakan semua yang bergelut dalam kepala saya itu. Saya takut jadi ustad kesiangan yang tiba-tiba menggelontornya dengan wejangan-wejangan yang faktanya jauh dari apa yang sudah saya amalkan. Bisa-bisa malah menimbulkan persangkaan sesat bahwa saya ada masalah serius dalam pernikahan. Kepada kawan yang saya sayangi itu, setelah diam yang sangat panjang, saya hanya bisa berpesan, "Mintalah restu dari gurumu!"

"Guru? Guru yang mana?"

Itulah pertanyaan sulit berikutnya. Modar, saya!

Bila hendak mengurek-urek soal Unas dibutuhkan persiapan waktu sekian tahun dengan sekian banyak guru, bagaimana pula bila hendak mengatasi soal yang lebih pelik, rumit, kompleks dan gawat yaitu hidup ini sendiri? Hanya orang-orang sok tahu yang tidak berusaha mencari guru. Guru yang mau dan mampu membaca peta hidup kita dan berkenan memasang rambu-rambu di setiap persimpanan agar kita kalaupun tetap tersesat bisa memahami duduk perkaranya. Kepada beliaulah yang saya maksud kita harus memohon restu.

Tapi lagi-lagi saya terlalu pengecut untuk mengambil risiko sok menggurui. Alih-alih saya bertanya, "Apakah sudah kaupahami semua risiko menikah?"

Sebenarnya saya mencoba mengukur modal doa seperti apa yang telah ia persiapkan untuk memulai babak baru hidupnya. Lebih tepatnya, harapan-harapan seperti apa yang ia bayangkan bisa ia kejar dengan cara menikah.

Lihatlah pernikahan saya yang bahagia! Saya tegaskan bahagia karena semua harapan saya dulu telah tercapai nyaris sempurna. Tapi bagaimana bila dengan berjalannya waktu timbul kesadaran baru bahwa selama ini kita telah memelihara harapan yang salah? Rasanya seperti seekor burung yang baru menyadari keburungannya dan ternyata selama ini ia sibuk memuja-muja dan tergila-gila pada melatanya ular. Ketika kesadaran itu datang, sayapnya telah kaku dan bahkan menatap langit pun adalah siksaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline