Lihat ke Halaman Asli

Karena Puasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perut dibiarkan lapar, kelamin juga tak tersentuh untuk bermain menengok daging, asap rokok juga dilarang mengepul. Semua harus terkendali, kalau dilanggar sedikit saja, bisa dikatakan kena kutuk dosa.

Setengah tiga pagi saya pastikan sudah mengayuh sepeda di sekitaran Juanda, berburu warteg ke warteg berikutnya. Istiqlal terus-terusan menyebut Tuhan, mengajak meneguhkan iman. Forum 3gp yang baru saja saya kunjungi juga harus segera saya tutup, karena sebentar lagi Imsyak berteriak.

Kemudian benarkah puasa mampu mengasingkan nafsu jasmani, nafsu 3gp dan nafsu2 lainnya?

Coba kita lihat di pinggir-pinggir jalan yang dianggap strategis untuk memajang menu berbuka. Kreativitas menghasilkan hidangan yang jarang kita temui selain di bulan puasa, maka akan dengan sendirinya muncul. Omzet warteg yang sebelumnya hanya mampu meraup keuntungan beberapa prosen, naik berlipat. Menu telur bulet favorit saya yang biasanya dihargai 6 ribu, melonjak menjadi 8 ribu. Kolak yang tahun lalu bisa saya beli dengan harga 3 ribu, sekarang naik menjadi 4 ribu. Bahkan bapak kos yang tiap harinya hanya mengelus-elus ayam jago petarungnya, nimbrung ikutan jualan kolak dan gorengan. Ini berarti saya juga "wajib" membeli kolak Pak Kos; demi menjaga harmonisasi kalau sewaktu-waktu telat bayar kos.

Bulan puasa sepertinya telah menjadi waktu dimana tiap orang memperoleh harga istimewa. Harus ada hal yang istimewa setelah setengah hari penuh kita menempuh menahan nafsu; hidang buka harus lengkap. Paradoks, bukan?

Puasa tahun ini juga menghadirkan pengalaman istimewa bagi saya. Beberapa hari yang lalu, salah satu rekan kerja saya, perempuan, yang beragama non Islam mengalami kejadian kurang mengenakkan, tepatnya ketika jam makan siang. Kejadiannya sebenarnya saya anggap sepele, ini menurut saya, tapi nggak tahu menurut orang lain.

Tanpa sungkan, teman saya ini mengeluarkan rantang yang berisi menu makan siang dan kemudian melahapnya dengan penuh suka cita. Kemudian muncul rekan kerjanya, laki-laki, beragama Islam dan sekonyong-konyong membentaknya. "Eh, lu, ini bulan puasa. Situ emang nggak puasa, jadi hormati kita yang puasa, donk! enak aja makan seenaknya. Sono cari tempat lain!", kalimat kasar yang dikeluarkan orang yang katanya sedang menjalankan puasa.

Sepertinya makna puasa telah berubah. Menahan lapar dan haus tidak lagi diikuti menahan menghormati orang yang tidak berpuasa. Puasa sepertinya telah menjadi hak istimewa. "Karena saya puasa, maka hormatilah saya. Untuk orang yang tidak berpuasa, maka diwajibkan untuk ikut berkorban menghormati yang berpuasa". Jika anda ingin melahap makan siang, silahkan cari tempat yang terpencil untuk menikmati makan siang Anda. Sebuah perenggutan dari hidup yang normal, dan kita, yang merasa harus menanggungkan itu, menginginkan imbalan yang memuaskan (Goenawan Muhammad)

Terlebih menjelang lebaran tiba. Pusat-pusat perbelanjaan mewah yang memajang diskon besar-besaran mulai dibanjiri pembeli. Tanah Abang mulai kebanjiran oder, tukang-tukang parkir menuai rejeki besar. Ketika kita diharuskan menahan nafsu, justru saat itulah nafsu merasa harus diumbar, dinikmati; ekstase.

Apakah puasa yang seperti ini akan kita akhiri dengan merayakan Idul Fitri? ataukah puasa hanya membuat kita semakin rusak, remuk?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline