Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Gojali

Mahasiswa Magister Akuntansi, Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak. NIM : 55521110035 Akhmad Gojali, Universitas Mercu Buana, Jakarta

K6_Paradoks Self Assessment, Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia

Diperbarui: 16 April 2022   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : setpp.kemenkeu.go.id

K6_Paradoks Self Assessment, Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia

Self Assessment System (SAS)

Indonesia merdeka sejak diproklamirkan nya Proklamasi oleh Ir. Soekarno yang ditandatangani atas nama bangsa Indonesia Soekarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Sejak itu Indonesia melakukan pemungutan pajak sesuai dengan UUD tepat nya pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 dengan menerapkan Official Assessment System (OAS). OAS adalah sistem pemungutan dengan membebankan wewenang dalam menentukan besarnya pajak yang terutang pada petugas perpajakan. Indonesia menganut OAS sampai dengan tahun 1983. Sedangkan setelah tahun 1983 Indonesia menganut Self Assessment System (SAS) dengan hadir nya tax reformasi dengan disahkan nya UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP. SAS merupakan sistem pemungutan pajak dengan cara wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, mulai dari kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, mengurus PKP, menghitung, membayar dan melaporkan pajak nya sendiri.

Jadi di Indonesia muncul dan berlakunya SAS sejak tahun 1984. Perubahan sistem tersebut perlu dilakukan karena semakin banyaknya jumlah wajib pajak serta semangat sebagai bangsa yang telah merdeka, sistem penetapan besarnya pajak yang terutang oleh Kantor Inspeksi Pajak diubah ke sistem self assessment (WP menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak penghasilan yang terutang). Sejalan dengan itu, Kantor Inspeksi Pajak diubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak (Bawazier, 2011). Perubahan tersebut juga bisa dikarenakan semakin sadar dan penting nya menerapkan cara yang lebih efisien dalam pemungutan pajak, mengingat penduduk Indonesia atau wajib pajak akan menjadi semakin banyak, dengan cara self assessment pemerintah qq DJP tidak perlu lagi pusing untuk menghitung satu persatu pajak terutang dari wajib pajak, DJP cukup melakukan pengawasan dan melakukan tindakan pemeriksaan apabil ada wajib pajak yang terindikasi tidak atau kurang membayar pajak dan adanya salah penerapan peraturan perpajakan.

SAS dapat diartikan juga bahwa wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melakukan kewajiban perpajakan nya dengan :

  1. Menghitung sendiri DPP;
  2. Menghitung sendiri pajak terutang nya;
  3. Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang nya;
  4. Memperhitungkan sendiri pembayaran pajak nya (dibayar sendiri atau melalui mekanisme pemotongan atau pemungutan pihak lain); dan
  5. Melaporkan sendiri perhitungan tersebut dengan SPT.

Dalam mengisi dan menyampaikan SPT, sesuai dengan Pasal 12 ayat (2) UU KUP, wajib pajak harus mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas, sehingga SPT yang dilaporkan tersebut dijamin oleh Undang-Undang dan dipertegas dengan Pasal 12 ayat (3) UU KUP.

Pasal 12 UU KUP ayat :

(2) Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh WP adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang.

Atas dua pasal tersebut, sangat jelas bahwa konsekwensi dianutnya SAS, pajak yang terutang yang sudah disampaikan wajib pajak di SPT adalah benar menurut Undang-Undang, kecuali DJP mendapatkan bukti bahwa wajib pajak tidak benar dalam mengisi SPT nya.

Secara tidak langsung sebenarnya, Pemerintah qq DJP dalam praktik nya masih menerapkan OAS dengan adanya Pasal 13 UU KUP, akan tetapi OAS yang dimaksud dibatasi kewenangan nya, sangat berbeda dengan OAS sebelum tahun 1983. Pembatasan kewenangan tersebut pada Pasal 12 ayat (3) UU KUP terdapat kata-kata apabila DJP "mendapatkan bukti", berarti apabila DJP tidak mendapatkan bukti otomatis harus mengakui bahwa SPT yang telah disampaikan oleh wajib pajak sudah benar menurut Undang-Undang. Ketentuan Pasal tersebut juga secara tidak langsung membatasi DJP penerapan OAS dengan tidak diperbolehkan mengoreksi jumlah pajak secara analisa, taksiran, perbandingan dengan usaha sejenis dan lain sebagainya. Kesimpulannya bahwa DJP dapat menerapkan OAS apabila mendapatkan bukti adanya kesalahan penerapan ketentuan dan peraturan perpajakan sehingga menurut DJP masih terdapat pajak yang terutang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline