Apakah kata “penting” pernah digunakan sebagai terjemah yang mewakili satu kosa kata al-Quran? Apakah padanan kata “penting” dalam bahasa Arab? Apakah al-Quran menggunakan padanan kata itu dalam pengertian yang sama dengan konsepsi kebahasaan orang Arab kotemporer? Tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiran saya. Tetapi mengapa persoalan ini dihubungkan dengan al-Quran ialah karena—menurut asumsi orang Islam pada umumnya—segala yang tidak ada di dalam al-Qur’an adalah tidak Islam.
Zaman sudah digital. Saya langsung hidupkan komputer. Saya klik al-Quran Digital Versi 2.0. Pada kolom ‘search’, saya ketik *penting* (dengan diapit dua tanda bintang yang berfungsi membatasi pencarian pada kata “penting” dan semua derivasinya, seperti “kepentingan” dan “mementingkan”). Hasilnya duapuluh dua kali penggunaan yang terdiri atas penggunaan kata “penting”, “terpenting” dan “kepentingan”; sembilan di antaranya merupakan terjemahan interpretatif suatu ayat, selebihnya digunakan dalam catatan kaki, mukadimah atau penutup suatu surah, dan Asbab al-Nuzul (penjelasan kronologis tentang turunnya suatu ayat atau surah).
Dari sembilan penggunaan tersebut, empat di antaranya digunakan sebagai modifier kata “berita” dalam frasa “berita penting” yang merupakan terjemah dari kata naba’. Dua kata lainnya digunakan juga sebagai modifier dengan menambah kata “yang” dalam frase “…urusanmu yang penting…” yang merupakan terjemah kata khathbukum, dan “…pelajaran yang penting bagi kamu…” yang merupakan terjamh kata ‘ibrah. Tiga sisanya digunakan dalam tanda kurung sebagai terjemah interpretatif dalam frase “…(untuk kepentingan seseorang)…”, “…(hal itu tidak penting bagimu)…”, dan “…untuk (kepentingan)mu…”
Untuk sementara, dapat disimpulkan, pertama, bahwa kata “penting”, “terpenting” atau “kepentingan” tidak pernah digunakan sebagai terjemah yang mewakili satu kosa kata al-Quran. Kalaupun ada, itu hanya gabungan seperti frase “berita penting” yang merupakan terjemah kata naba’. Kedua, bahwa yang disebut “penting” selalu berarti penting bagi selain yang mengucapkan, seperti frese “berita penting [bagimu/mereka/]”, “pelajaran penting bagimu…” dan lain sebagainya.
Dalam kosa kata Arab kotemporer, kata “penting” sering disepadankan dengan al-Muhimm, al-Khâthir, dan al-Bâl; sedangkan kata “kepentingan” acapkali diarabkan dengan al-Khuthûrah, al-Khairiyyah, al-‘Udhm, al-Sya’n. Tidak satu pun dari kosa kata Arab kotemporer tersebut yang digunakan oleh al-Quran, kecuali kata al-Muhimm, al-Khairiyyah, al-Bâl, dan al-Sya’n. Itupun hanya derivasinya (dari kata al-Muhimm, ada kata hamma dan ahamma; dari kata al-‘Udhm, ada kata al-‘adhîm) atau kata dasarnya (kata dasar al-Khairiyyah ialah al-Khair). Kecuali kata al-Bâl dan al-Sya’n, karena dua tersebut digunakan dalam al-Quran. Jadi, kata yang punya hubungan dengan makna penting dalam al-Quran ialah hamma, ahamma, al-khair, al-‘adhim, al-bâl, al-sya’n.
Tetapi makna kotemporer kosa kata tersebut berbeda dari makna kontekstual yang digunakan oleh al-Quran, meski tetap memiliki asosiasi pada satu sisi maknanya. Dalam al-Quran, hamma diterjemahkan sebagai “bermaksud hendak”, “bermaksud”, “ingin”, “berkeinginan keras”, “merencanakan”, “keras kemauannya”, dan “mengingini”. Ahamma diterjemahkan sebagai “membuat cemas”. Al-khair diterjemahkan sebagai “kebajikan” dalam banyak ayat. Al-‘Adhîm diterjemahkan dengan “maha besar” dan “yang besar” dalam banyak ayat. Al-bâl diterjemahkan sebagai “keadaan” dalam empat ayat, hanya satu yang diterjemahkan sebagai “hal” yang juga berarti “keadaan”. Sementara al-sya’n diterjemahkan sebagai “urusan”, “kesibukan”, dan “suatu keadaan”.
Saya tidak mengerti mengapa saya tiba-tiba menduga bahwa Anda, pembaca, mampu menemukan benang merah asosiasi makna antar masing-masing terjemahan kata yang telah disebutkan. Jika tadi disimpulkan bahwa kepentingan selalu berkaitan dengan orang lain, maka kali ini dapat kita rasakan—melalui masing-masing terjemah kata tersebut—bahwa kepentingan erat hubunganya dengan pribadi sendiri: kata “bermaksud”, “berkeinginan keras”, dan “merencanakan” merupakan simbol-simbol “sesuatu yang penting”. Hingga sesuatu itu “membuat cemas” orang yang bersangkutan.
Hal inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa orang—termasuk saya—sulit menghindari kepentingan pribadi. Misalnya, saya seorang caleg. Saya katakan dalam hati, “Saya akan berjuang demi kepentingan rakyat.” Tetapi di bilik hati yang lain, terbersit “Kalau saya tidak lakukan itu, berarti saya akan dicap sebagai pejabat yang berjuang demi kepentingan pribadi”. Bukankah itu masih kepentingan pribadi?
Contoh lebih sederhana lagi ialah saya betul-betul ingin memuaskan istri saya. Saya minum jamu kuat, berolah raga setiap hari, dan menjalani ritual kamasutra. Pertanyaannya: ini kepentingan saya ataukah kepentingan istri saya? Padahal kita tahu bersama tidak satu lelaki pun yang tidak ingin tampil perkasa di atas ranjang di hadapan istrinya. Maka jelas saya melakukan kegiatan-kegiatan itu sebenarnya demi kepentingan pribadi saya, bukan kepentingan istri saya.
Kita sering terjebak dalam slogan “kepentingan umum”, akibat ketidakjujuran kita terhadap diri kita sendiri. Kita sering gagal mengidentifikasi mana yang kepentingan pribadi dan mana kepentingan umum. Diucapkan “kepentingan umum” tetapi pada hakikatnya adalah kepentingan pribadi yang dibungkus oleh serentetan tindakan dan alasan yang seolah-olah logis tetapi hanya pemanis.
Dapatkah disebut demi kepentingan umum, jika setiap bantuan dan sumbangan selalau ditempeli poster, baleho, dan stempel slogan, partai, dan caleg? Penderitaan korban-korban bencana disulap menjadi lahan mengeruk suara sebanyak-banyaknya. Bagaimana bisa dikatakan kepentingan umum, jika masih ada rasa tega bernyanyi di atas kesedihan orang lain?