Tragedi Wamena yang terjadi adalah buah dari peristiwa rasisme yang terjadi di Surabaya. Di Surabaya terjadi penggrebekan pada asrama mahasiswa asal Papua oleh kepolisian setempat karena diduga penghuni asrama tidak menghargai bendera kebangsaan Indonesia merah putih di waktu yang dekat dengan perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Dan muncul banyak tindakan rasisme oleh oknum-oknum tertentu yang akhirnya mengobarkan amarah warga Papua. Banyak korban berjatuhan disebabkan oleh tragedi Wamena. Warga di Wamena menyerang warga dari daerah lain yang tinggal disana. Rumah-rumah warga dibakar, menyebabkan para warga yang dinilai mereka warga asing harus kembali dari rantauan ke kampung halaman mereka tanpa harta sepersenpun karna harta mereka telah terbakar habis.
Namun, respon pak Jokowi terbilang lumayan mengecewakan menurut partai politik Gerindra dikarenakan lambatnya respon beliau perihal masalah tersebut membuat warga Wamena semakin gencar melakukan kerusuhan. Hal tersebut sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Milgran bahwasanya "Tanggung jawab pemimpin sejalan denga meningkatnya kepatuhan pemerintahnya." Dan peristiwa Wamena sedikit demi sedikit meredam seusai pak Jokowi memberikan perintah atas penyelesaian tragedy tersebut.
Diberitakan juga tragedi Wamena terjadi karena adanya kesalahpahaman tentang kejadian dimana seorang guru menyuruh muridnya berbicara dengan lancang namun dengan kata "kera" bukan "keras". Hal tersebut memancing amarah warga Wamena dan akhirnya menyerang sekolah tersebut pada keesokan harinya. Namun ketika dicari kebenarannya, ternyata kesalahpahaman tersebut adalah hal yang tidak benar, berita iu tidak benar-benar terjadi namun warga Wamena tetap menyerang sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan warga Wamena berpegang teguh pada informasi yang ia dan lingkungannya percayai. Dalam hal ini warga Wamena mengambil jalan pintas dalam mempercayai suatu informasi, mereka hanya mempercayai apa yang dipercaya oleh teman-teman disekitarnya. Hal tersebut dapat disebut sebagai heuristus.
Dari 2 peristiwa berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa warga Wamena melakukan kerusuhan tersebut karena 1 hal yang sama, yaitu emosi mereka tersulut karena memiliki rasa afeksi pada sesame warga Papua. Dalam kerusuhannya pun mereka menuntut banyak sekali hal terhadap pemerintah. Hal tersebut menandakan bahwa warga Wamena melakukan kerusuhan tersebut dikarenakan mereka cinta tanah kelahirannya. Hal tersebut positif karena bagaimanapun rasa cinta tanah kelahiran adalah hal yang positif, namun ketika suatu kelompok besar tersulut emosi dan melakukan perusakan hingga pembunuhan dimana-mana, hal tersebut sudah tidaklah bisa dibenarkan lagi. Namun, kembali ke penyebabnya, jika tidak ada yang menyulut emosi warga Papua maka hal tersebut tidak akan pernah terjadi.
Dan semua kejadian diatas tidak luput dari kecanggihan media saat ini. Bagaimana bisa kejadian yang terjadi di asama kecil yang terletak di Surabaya bisa terdengar hingga ke telinga pak Jokowi dan hingga ke Merauke. Oleh karena itu pak Jokowi menghimbau hati-hati dalam penggunaan media, kesalahan kata dapat memicu amarah suatu kaum dan dapat berakibat fatal nantinya. Terlebih lagi ketika sudah menyangkut paut kan dengan hal-hal rasis, pak Jokowi sangat menghimbau untuk menjauhi hal-hal semacam itu. Maka dari itu, mari kita jaga persatuan dan kesatuan NKRI dengan berhati-hati dalam penggunaan media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H