Lihat ke Halaman Asli

Pragmatisme & Demokrat Yang Sekarat

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Karma, ajaran yang mengajarkan bahwa apa yang kamu lakukan, maka itulah yang akan kamu dapatkan. Terminologi ini memberi pesan bahwa prinsip sebab - akibat selalu ada di kehidupan kita. Tidak terkecuali, hal ini juga berlaku dalam dunia politik di Indonesia. Menurut LSI, pada Pemilu 2009, Partai Demokrat atau yang kala itu juga disebut sebagai partai raksasa yang berkuasa, memiliki elektabilitas sekitar 20,9%. Angka yang cukup tinggi ini, menjadi kontras jika melihat elektabilitas yang dikeluarkan oleh LSI pada januari, kemarin. Pada hasil LSI tersebut didapatkan bahwa suara Demokrat hanya mencapai 4,7%. Alasan logis jika perolehan suara yang didapatkan demokrat semakin menurun.

Berbagai kasus korupsi yang menimpa anggotanya memberi tamparan jelas bagi dunia politik itu sendiri, terutama bagi Demokrat sendiri. Melalui kicauan Nazaruddin, yang merupakan mantan bendahara umum partai biru itu, satu per satu model iklan "Katakan Tidak, Pada Korupsi" terseret ke jurang korupsi itu sendiri. Miris. Mulai dari Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, sampai mantan Ketua Umum Partai Demokrat yaitu Anas Urbaningrum.

Partai yang seolah bersih dari korupsi, sekarang malah kelihatan belangnya. Dalai Lama pernah mengatakan bahwa nafsu terhadap duniawi dapat membutakan semuanya. Orang-orang yang terjerat korupsi seperti mereka, tentunya memiliki nafsu yang tinggi untuk meraup uang baik yang digunakan untuk pribadi atau membantu uang kas di Partainya sendiri. Hal ini yang sering diwacanakan sebagai sistem Pragmatisme Korporasi di Indonesia. Pragmatisme tersebut yang sering dijadikan oleh mereka yang memiliki niat busuk untuk berbuat yang tidak sepatutnya.

Pragmatisme Korporasi

Pertama kali, ide pemikiran pragmatisme merupakan karya pemikiran orisinil amerika terhadap perkembangan ilmu filsafat. Lahirnya pemikiran seperti ini bertujuan untuk menghubungkan dua dunia, yaitu 'dunia spekulatif' dengan 'dunia praksis'. Salah satu tokoh besar yang mempelopori pemikiran ini adalah John Dewey. Seorang filsuf Amerika, kritikus dan pemikir dalam bidang pendidikan yang lahir pada tahun 1859 di Burlington. Pada dasarnya pemikiran pragmatisme ini tidak mementingkan sesuatu yang terlalu spekulatif dan kapasistas secara rasionalistik seperti yang disampaikan oleh Descrates, Kant melalui idealisme kritis, Hegel melalui idealisme absolutnya, serta pemikir rasionalistik yang lainnya.

Yang menjadi poin utamanya adalah bagi kaum pragmatisme tidak penting menerima teori ini atau itu, yang melainkan apakah teori dapat berfungsi dalam suatu tindakan atau tidak. Dalam artian, bahwa landasan seperti ini bersifat praktis semata (empirisme). Bagi kaum ini, rasio dan spekulatif apapun tidak diperhitungkan. Pada akhirnya segala resiko dan tindakan kehilangan nilai khas dari manusia itu sendiri. Baik dari segi nurani maupu akhlak yang diperlihara seorang manusia untuk hidup dalam suatu lingkup sosial.

Cara-cara atau pemikiran seperti ini yang telah melahirkan berbagai kreasi seperti IPTEK yang akhirnya memudahkan semua orang untuk membantu pekerjaannya sebagai manusia. Ini merupakan citra positif dari pragmatisme itu sendiri. Di samping citra positif, tentu saja pragmatisme melahirkan citra negatif melalui pemikirian praktisnya , yaitu adalah Pragmatisme Korporasi.

Pragmatisme Korporasi memiliki pengertian bahwa pada bagian level atas melakukan sesuatu tindakan yang praktis demi mencapai tujuannya. Yang perlu digarisbawahi adalah dalam mencapai tujuan tersebut, segala tindakan atau cara diperbolehkan, meskipun pada akhirnya akan merugikan orang banyak. Hal ini tentu yang dapat merusak tatanan masyarakat sosial. Masyarakat yang seharusnya dijadikan landasan dalam mengambil suatu kebijakan dalam suatu sistem korporat, malah berbalik arah untuk dijadikan sebagai ladang untuk diperas dan dikerutkan.

Hal ini yang terjadi dalam sistem di Indonesia. Mari kita lihat kasus partai demokrat. Memunculkan iklan-iklan politik dengan jargon 'Katakan Tidak Pada Korupsi', yang berpretensi bahwa partainya adalah partai yang bersih pada tahun 2009. Akhir-akhir ini harus gulung tikar akibat jatuhnya elektabilitas partai biru tersebut sampai ke titik nadir. Angka perolehan suara yang hanya mencapai 4,7%, membuat partai tersebut menjadi Sekarat. Dalam artian, bahwa partai ini butuh pertolongan yang lebih dan butuh bantuan oksigen agar nyawa dari partai tersebut masih bisa dapat diselamatkan. Tapi, siapa yang mau menolong?

Apa yang kau perbuat, itulah yang akan kamu petik. Ketika anggota partai korupsi, maka suara partai akan menjadi taruhannya. Publik menilai seringnya kasus korupsi yang menjerat partai biru ini membuat publik tidak lagi berpaling kepada mereka. Maka, karma itu pun harus diterima meskipun pahit rasanya. Pragmatisme dan nafsu dari masing-masing kader partai tersebut yang membawa semua resiko ini. Siapa yang mau menolong mereka?

Jikalau, demokrat berteriak,"Tolong, Tolonggg, Ampuni saya, Maafin saya, anggota saya tidak bermaksud korupsi. Bantu saya untuk menaikkan suara partai saya, agar partai ini bisa bertahan." apakah publik akan membantunya? (Maaf saja, melalui kebebasan berpendapat, pribadi penulis tidak akan berpaling kepada partai ini).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline